Selasa, 08 Januari 2013

Menulis vs Membaca, atau Menulis feat. Membaca?

Lebih suka mana, menulis atau membaca?

Jika ditanya seperti itu, mungkin saya akan menjawab keduanya. Namun bagaimana apabila sang penanya hanya menginginkan satu jawaban pasti?

Menulis, berarti menciptakan karya sastra. Membaca, berarti melestarikan karya sastra. Sesuatu tak akan bisa dilestarikan apabila tanpa adanya penciptaan terlebih dahulu, namun apakah suatu ciptaan itu bisa bertahan apabila tanpa adanya pelestarian? nah.. bingung, kan? hehehehe

Menulis dan membaca, bagaikan raga dengan nyawanya, hanya akan bisa berjalan baik apabila keduanya terpenuhi. Bagaikan paru-paru dengan udaranya, hanya akan bisa bernapas apabila keduanya saling berpaut tangan memanjangkan kehidupan. Menulis tanpa membaca, sama saja sedang berjalan pada kehampaan, yang isinya hanya kegelapan.

Jadi intinya, saya tidak akan bisa memilih mana yang lebih baik dan saya suka, karena keduanya merupakan elemen-elemen yang membuat saya bisa sampai sejauh ini. Mungkin bagi sebagian orang ada yang dapat dengan mantap memilih salah satunya, namun hal itu tergantung pada orang itu sendiri.

"Pena adalah rangka dunia. Mata adalah jendela dunia."

 

Sabtu, 05 Januari 2013

CERBUNG - Unpredictable


“Lagi nulis apaan, Man?”
Saat itu, kelas sepuluh empat sangat ramai karena tak ada guru. Di bangku paling depan, paling dekat dengan pintu, Manela sedang asyik menulis sesuatu di bindernya, sampai tak menyadari namanya terus saja dipanggil-panggil oleh Ariana yang berdiri di depan mejanya sambil berkacak pinggang. Tak sabar, akhirnya Ariana pun nekat menarik binder Manela, yang membuat gadis itu mendongak kesal.
“Apa-apaan, sih, Ri? Aku lagi nulis..” protes Manela yang sama sekali tak digubris Ariana, yang sedang takjub membaca tulisan di binder tersebut. Sebuah tulisan puisi berjudul “Rangka Sepuluh Empat” di atasnya.
“Ini buat tugas nanti, Man? Well, gaya tulis puisimu unik, aku suka,” kata Ariana, tersenyum. Manela yang dari dulu paling tidak tahan dengan pujian pun ikut tersenyum, namun langsung menyambar bindernya lagi dengan ganas.
Ariana duduk di sebelah Manela. Mempermainkan jari-jari tangannya sebentar, lalu menoleh dan menatap bimbang temannya yang sedang menulis. Berkali-kali ia katupkan bibirnya seperti memakan kembali ucapan yang ingin diutarakan. Namun setelah mengambil napas dalam berkali-kali, akhirnya ia menyerah dan memutuskan untuk menyimpan kembali niatnya.
“Kenapa enggak ngomong, Ri? Aku dengerin kok,” ujar Manela tiba-tiba, membuat Ariana kaget karna gerak-geriknya ketahuan. Ia menyapu pandangannya ke seantero kelas; tak ada yang memperhatikan dan berada cukup dekat untuk menangkap percakapan mereka. Ia menelan ludah, dan menyeka keringat di atas bibirnya.
“Man.. kamu kenal sama..” Ariana tak mampu melanjutkan.
“Kak Putra? Iya, aku tahu dia. Kenapa?”
Sekali lagi Ariana dibuat kikuk oleh temannya yang seperti dukun ini. Sebenarnya ia heran, darimana Manela tahu isi pikirannya??
“Kok kamu tahu, sih? Err.. aku cuma mau tanya saja.. hehehe..”
“Aku dengar dia akan diturunkan untuk pertandingan futsal antar SMA minggu depan. Kamu bersiap saja, sebagai anggota PMR, kamu pasti akan diminta untuk mengawal mereka. Tempatnya di GOR Pajajaran,”
Ariana hanya mengedipkan matanya pilon. Kok Manela tahu yang mau aku tanyain, sih??
“Hmm.. oke aku tahu kamu kayak dukun, tapi yang aku penasaran, apa itu semua bisa dipercaya? Maksudku kamu tahu darimana aku mau tanya itu??” Ariana mulai frustrasi. Akhirnya Manela pun menutup bindernya, dan mengubah posisi duduknya menghadap Ariana.
“Belum lama tadi, Kak Putra lewat depan kelas kita, kan?” Ariana mengangguk. “Terus kamu ngeliatin dia, sampai dia belok ke balik dinding itu, kan?” Ariana mengangguk lagi. “Dan lagi, setelah itu kamu langsung nyamperin aku dan ganggu aku, kan?”
Seperti mainan yang diputar sekrupnya berkali-kali, Ariana kembali mengangguk.
“Terus kamu masih bingung darimana aku tahu isi pikiranmu?”
Kali ini Ariana menggeleng.
“Hmm.. memangnya aku sekikuk itu, ya?” tanya Ariana.
Manela hanya menghela napas dan tersenyum singkat. Sebenarnya bukan maksudnya untuk bersikap tak peduli seperti itu, ia hanya sedang tidak dalam mood yang sesuai.
Bel tanda berakhirnya istirahat pun berbunyi. Murid-murid yang tadinya menyebar di seantero kelas pun kembali ke tempat duduknya masing-masing. Mengakhiri segala aktivitas mereka, termasuk percakapan antara Ariana dan Manela yang masih membuat merah wajah putih nan cantik Ariana. Selang beberapa menit kemudian, guru Fisika pun datang...
***
“Oke, yang akan ikut minggu depan itu.. Sinta, Adin, Fika, Faishal, dan Ariana.”
Begitu namanya disebut, Ariana langsung menelan ludah. Benar “ramalan” Manela. Ia akan ikut menjadi tim medis pada pertandingan futsal yang akan diikuti Kak Putra minggu depan. Sebenarnya ia grogi setengah mati, namun selain di depan Manela, ia adalah orang yang sangat pandai menyimpan perasaan. Jadinya tak ada satu pun di ruangan itu yang merasakan tak beraturannya detak jantungnya.
“Saya harap kalian bekerja dengan maksimal. Walau pun tak banyak anggota yang turun, saya percaya kalian adalah tim terbaik, yang pastinya bisa menangani situasi apa pun. Apa kalian mengerti?”
Rapat berakhir pada pukul setengah empat sore. Alih-alih pulang, Ariana langsung ke masjid untuk shalat ashar. Masjid sangat sepi. Saat ia duduk di beranda untuk membuka sepatunya, tiba-tiba terdengarlah suara celotehan yang sangat dikenalnya. Mendadak jantungnya seperti ingin melompat. Jangankan melihat wajah, mendengar suaranya saja sudah membuatnya berdebar-debar.
“Hahaha, tenang aja, gue gak akan melewatkan kesempatan emas untuk nyetak gol di gawang BBS minggu depan,” ujar Kak Putra penuh percaya diri. Dua orang teman yang jalan bersamanya pun spontan langsung merangkulnya brotherly. Selain ganteng dan rajin shalat, Kak Putra memang terkenal dengan sifat supelnya.
Tiga sekawan itu duduk di beranda juga, tak jauh dari tempat Ariana yang hanya dihalangi hijab. Mereka bertiga nampaknya tidak menyadari kehadiran gadis itu.
“Put, lo banyak kenalan anak kelas satu, kan?” tanya Kak Riko, cowok hitam manis yang belakangan Ariana tahu sebagai kecengannya Manela.
“Hmmm enggak banyak juga sih, memang kenapa?”
“Kalau dilihat dari gelagatnya, gue yakin si Riko ini lagi naksir cewek, iya kan?” tembak Kak Fadly, teman yang satu lagi.
Ariana yang mendengarnya juga ikutan deg-degan. Ia pun pura-pura membaca catatannya agar bisa mendengar percakapan mereka lebih lama.
“Eh, Apaan sih? Bukan itu maksud gue..”
“Anak kelas satu yang gue tau itu cuma.. Heru, Hamzah, Jodi, Diko, Andra, dan lain-lain deh, di antara mereka ada yang lo maksud ga?” ujar Kak Putra. Namun Kak Fadly tiba-tiba menepuk bahunya sambil berdecak sok tahu. Membuat Kak Riko makin salah tingkah.
“Bukan cowok, Put. BUKAN cowok. Emang lo kira temen kita si Riko ini bakal malu-malu kucing hanya untuk nanyain tentang cowok ke lo? Gue sanksi sama kejantanannya kalo begitu,” timpal Kak Fadly. “Tapi nih, Ko. Setau gue, cewek yang lagi eksis itu ya si Nisa, Feby, Anggi, sama Elli.. Eh jangan Elli deh, nanti Putra marah lagi, hehehe.”
“Elli? Putra lo naksir Elli?!” seru Kak Riko, heboh.
“Apa-apaan sih lo, Fad. Jangan bikin gosip macem-macem deh,” elak Kak Putra, namun dengan wajahnya yang memerah.
“Ga usah muna gitu, Put. Bukannya kemarin lo sendiri yang nanyain tentang Elli ke gue? Udah dikasih info bagus malah ngelak, ckck, ga asik ah,” goda Kak Fadly.”Eh.. tapi cewek yang lo mau tanyain itu bukan Elli juga kan, Ko?”
“Bukan dia.. ada.. tapi dia ga terlalu eksis.. gue sering liat dia di perpus.. dan belakangan gue tahu dia ikut eskul karate..”
                “Karate? Hmm.. tunggu.. anak kelas satu putri yang ikut karate cuma.. aahh.. Hani sama Manela, nah yang mana?”
                “Manela deh kalo ga salah namanya, hehehe,”
                Manela? Kak Riko suka sama Manela!
                “Manela? Yang sering bareng sama Ariana itu ya?” timpal Kak Putra. Dalam hati Ariana berteriak kegirangan. Kak Putra inget gue!
                “Lo apal banget nama sih, Put? Sampe Ariana aja lo inget. Atau jangan-jangan enggak cuma Elli nih..” pancing Kak Fadly lagi, yang langsung mendapat jotosan keras Kak Putra di lengannya.
                “Ga usah mancing deh, Elli aja belum beres, lo malah ngeledekin gue sama Ariana. Udah deh, kesorean nih asharnya. Lo sih pada ngobrolin cewek mulu,” Kak Putra pun bangun dan menarik lengan kedua temannya agar bangun juga. Setelah mereka masuk Masjid, Ariana kembali merenung. Dadanya terasa sesak.
                Elli.. Kak Putra suka sama Elli.. Bukan aku..

***
                Ariana sampai di rumah pada pukul lima sore. Percakapan yang tadi didengarnya di masjid masih memenuhi pikirannya. Ia senang bahwa Kak Riko ternyata juga menyukai Manela, namun di sisi lain, ia menyesal telah mendengar pembicaraan itu..
                Kak Putra suka sama Elli..
                Ariana memang tak berharap banyak bahwa perasaannya bisa terbalas. Namun tetap saja, sakit..
                “Ri, ada telepon dari Nela!” suara ibunya bergaung dari lantai dasar. Ia pun terpaksa membuyarkan lamunannya dan langsung turun.
                “Halo, Nela. Ada apa?”
                “Bagaimana hasil rapat tadi? Bener kan apa yang aku bilang?”
                “Iya bener kok..”
                “Ada apa denganmu? Kok enggak bersemangat begitu?”
                Hening sejenak, dipotong oleh hembusan napas panjang Ariana.
                Just tell me!
                “Iya, aku emang ditugaskan jadi tim medis minggu depan.”
                “Woaaa.. selamat yaaa!”
                well, yeah. Makasih, Nel.. oh, iya, Nel.. tadi aku...”
                “Apa?”
                Sebenarnya ia ingin langsung menceritakan tentang apa yang ia dengar di masjid tadi. Tentang perasaan Kak Riko pada Manela, juga hal lainnya. Namun tiba-tiba gairahnya meluap. Mungkin lebih baik besok saja menceritakannya.
                Nevermind. Nel, aku tutup dulu, ya? Mau mandi nih, gerah banget baru pulang, hehe.”
                “Oh Ya sudah, Ri. Ku tutup yaa..”
                Hening. Galau. Untuk beberapa saat ia tidak bergeming dari tempat. Entah sampai kapan ia bisa menyembunyikan hal ini dari Manela. Memang ada hak bagi Manela untuk tahu tentang perasaan Kak Riko. Namun jika ia menceritakannya, dadanya akan terasa sakit.. karena mau tak mau ia harus teringat lagi pada kenyataan bahwa Kak Putra menyukai Elli..

***
                Satu minggu kemudian, tim futsal SMA N 5 Bogor beserta tim medisnya, sudah berkumpul di gedung KONI untuk briefing. Yang akan turun menjadi tim utama futsal adalah Kak Riko, Diko, Kak Fadly, Andra, dan Kak Putra sebagai kapten. Berkat informasi yang ia dengar minggu lalu, ia bisa mengendalikan perasaannya sepenuhnya. Tidak memandangnya lagi dengan penuh harapan. Seperti dulu.
                “Untuk pemain cadangan, saya harap kalian selalu siap, karena ada kemungkinan akan banyak dilakukan pergantian pemain, dilihat dari lawan kita yang selama ini selalu menjadi lawan terkuat kita. SMU BBS. Posisi kalian dengan pemain utama tidak dibedakan sama sekali. Dan untuk tim medis, terima kasih karena sudah bekerja sama dengan kami. Kalian nanti akan dipasang di tempat yang ditentukan panitia. Oke, guys, selamat bertanding!”
                Tim pun bubar menuju lapangan indoor. Sebenarnya sejak tadi, Ariana sudah merasa bahwa ia sedang diperhatikan. Entah oleh siapa ia tak peduli. Ia hanya ingin fokus pada pekerjaannya. Lagipula mood-nya sudah buruk ketika melihat Elli yang tengah duduk manis di tribun penonton. Sebenarnya ada Manela juga di sana, diselang beberapa orang dari tempat Elli duduk, namun tetap saja tak merubah apa pun. Ia hanya melambai sekadarnya pada Manela, lalu kembali meneruskan jalannya ke tempat tim medis.
                Pertandingan antara tim futsal Smanli dan BBS pun dimulai. Yang melakukan kickoff adalah Kak Putra dan Kak Riko. Serempak sorakan-sorakan membahana di seluruh aula. Pada menit-menit pertama, bola masih dikuasai oleh Smanli. Kak Putra sangat lihai membawa bola, begitu juga Kak Riko. Kekuatan Smanli sedang di posisi prima. Pada menit ketiga, satu gol sudah dicetak bagi Smanli oleh Kak Putra.
                “Sabar.. sabar.. tenang.. calm.. calm..” gumam Ariana sambil mengelus-elus dadanya ketika para suporter meledak riuh saat gol pertama diciptakan. Sebenarnya ia sedang mempertahankan dirinya agar tidak terbawa suasana. Karena kalau boleh jujur, Kak Putra keren banget!
                Tiba-tiba, Blackberry-nya berdenting. Ada BBM dari Manela.

*Ri, kenapa elus-elus dada?*
Sedang mengetik pesan..
*Gak papa, kok.*
(jeda beberapa saat)
*Ri, Kak Putra gol lagi tuuh!*
(Ariana mencari sosok Manela di tribun. Ternyata gadis itu sedang melihat ke arahnya juga sambil tertawa.)
*aku gak terpengaruh lagi, kok, sama dia. Mau ngegolin kek, terserah. Itu bukan urusanku.*
(Ariana pun langsung mematikan Blackberry-nya.)

                Huh. Si Manela itu memang biangnya usil. Untuk menunjukkan kekesalannya, ia pun menjulurkan lidahnya ke arah Manela, yang ternyata kelakuannya itu disaksikan oleh Faishal, rekan sesama PMR-nya.
                “Hmm, Ri. Lo lagi ngeledekin siapa?” tanya Faishal, polos. Spontan Ariana pun menoleh dan menyunggingkan senyuman terpaksa. Ia malu setengah mati tingkah bodohnya ketahuan orang.
                “Ha ha ha.. bukan siapa-siapa, kok,” balasnya cepat. “Oya, Shal. Obat-obatan sudah kamu bawa semua, kan?”
**
            Pertandingan akhirnya dimenangkan oleh Smanli, yang otomatis menjadi juara liga pada tahun ini. Para suporter sudah berkumpul di luar aula untuk menunggu pahlawan mereka. Ketika para pemain datang, mereka langsung dikerubungi. Ariana dan Manela yang tidak ikut dalam rombongan itu pun hanya memperhatikan dari depan pintu gedung KONI.
                “Kamu gak mau kasih selamat, Ri? Kak Putra jadi bintangnya loh hari ini!” seru Manela. Mendengarnya Ariana langsung buang muka, dan tertangkap olehnya sosok Elli di tengah-tengah kerumunan itu. Dekat Kak Putra. Tepatnya, di sebelahnya.
                Mereka sepertinya sedang membicarakan sesuatu. Senyuman tak pernah lepas dari wajah keduanya. Beberapa saat kemudian, Kak Putra pun membisikkan sesuatu di telinga Kak Fadly, yang langsung mengerling penuh arti ke Elli, dan mengangguk sambil menepuk bahu Kak Putra. Lalu Kak Putra dan Elli pun keluar dari kerumunan dan pergi menuju belakang GOR. Ariana menghela napas, dan langsung mengalihkan pandangannya pada Manela.
                “Man, kamu mau pulang kapan?” tanya Ariana. Suaranya bergetar. Manela yang nyatanya sedang asyik memperhatikan Kak Riko, nampaknya tidak menyadari getaran dalam suara Ariana. Ia pun hanya menjawab seadanya bahwa ia akan pulang ketika semuanya sudah bubar.
                Ariana agak jengkel pada ketidakpedulian sahabatnya ini. Namun sebelum ia protes, tiba-tiba Kak Zaldy, seniornya di PMR, menghampiri mereka. Ariana yang memang dekat dengannya pun menyambutnya dengan hangat.
                “Kalian kok belum pulang? Nungguin siapa?” tanya Kak Zaldy. Ia mengambil duduk di sebelah Ariana, lalu mengeluarkan sesuatu dari ranselnya.
                “Ini sertifikat lomba yang kamu menangi bulan lalu, Ri. Maaf ya saya telat nyampeinnya?” kata Kak Za. Ariana menerima sertifikat itu dengan perasaan campur aduk—antara senang dan bimbang.
                “Makasih banyak, Kak. Gak apa-apa kok telat juga. Aku juga sudah lupa malah pernah ikut lomba, hehe,” balas Ariana.
                “Kamu kok di sini aja sih? Gak gabung sama mereka?” Kak Zaldy menunjuk kerumunan dengan dagunya.
                “Enggak ah, Kak. Kami lebih suka di sini. Habis di sana rame sih.”
                “Hmm.. iya, Ariana, apa kamu punya waktu?”
                “Iya, Kak. Ada. Memangnya ada apa?”
                “Bisa kamu ikut saya sebentar?”
                “Bisa..” jawab Ariana. Ia pun pamit pada Manela, dan berjanji akan kembali tak lama lagi. Kak Zaldy mengajaknya ke belakang GOR. Sebenarnya Ariana sudah was-was saat Kak Zaldy membawanya ke sana, karena seperti yang sedang terlihat, ada Kak Putra dan Elli juga.
                “Eh, Putra. Selamat ya, tadi kamu mainnya hebat sekali!” seru Kak Zaldy pada Kak Putra. Kak Putra tak langsung membalas ucapan, melainkan tertegun melihat Ariana ada di sana juga, dan melirik kikuk ke arah Elli.
                “Ah.. i..iya terima kasih banyak, Kak. Saya hanya berusaha memberikan yang terbaik,” jawab Kak Putra akhirnya, sambil curi-curi pandang pada Ariana. Setelah berbasa-basi sedikit, Kak Zaldy pun pamit kepada mereka berdua, dan membawa Ariana lagi ke tempat yang lebih nyaman untuk berbiacara. Saat mereka pergi, Kak Putra masih memandangi Ariana. Di tatapannya ada campuran antara rasa cemas dan kecewa. Saat bayangan mereka sudah menghilang, barulah ia mengalihkan perhatiannya lagi pada Elli, dan mengajaknya pergi juga menuju tempat tim berkumpul.

***
                “Apa yang mau diomongin, Kak?” tanya Ariana. Kini ia dan Kak Zaldy sedang berada di depan mushola. Di sana hanya ada mereka berdua. Setelah bimbang sesaat, akhirnya Kak Zaldy pun angkat bicara.
                “Saya tahu perasaan kamu pada Putra.”
                Ariana menelan ludah. Apa-apaan dengan kalimat pembuka ini?
                “Kenapa.. Kakak bisa berpikiran seperti itu?”
                Kak Zaldy menatap Ariana. Sejenak hening di antara mereka berdua.
                “Seperti yang kamu lihat tadi, Putra sudah bersama Elli..” katanya. “Mungkin kamu menyukainya karena ia tampan dan jago olahraga. Namun saya tak menemukan alasan bagimu untuk terus menyukainya.”
                Ariana makin tidak mengerti maksud Kak Zaldy mengatakan hal itu. Ia pun menghela napas untuk menemukan suaranya kembali. “Aku enggak ngerti apa yang Kakak omongin. Memangnya darimana Kakak tahu perasaanku? Dan kenapa pula aku enggak punya alasan untuk menyukainya lagi?”
                “Ternyata benar. Kamu memang menyukai Putra,” tembak Kak Zaldy lagi. Ada sebersit kekecewaan di matanya, yang tidak bisa dipahami Ariana karena serba ketidakjelasan ini. “Untuk alasan, seperti yang kamu lihat tadi, Putra sudah memilih Elli!”
                Ariana mulai jengkel. Tak perlu dibacakan seperti itu juga dia sudah tahu!
                “Lalu apa urusannya dengan Kakak? Perasaan ini milikku, dan akulah yang berhak memutuskan untuk tetap menyukainya atau tidak!” seru Ariana. “Dan justru, menurutku Kakaklah yang tidak memiliki alasan untuk berbicara seperti itu denganku!”
                Ariana benar-benar marah. Daritadi hatinya sudah kesal, ditambah lagi dengan topik yang sensitif ini, ia merasa kemarahannya dapat datang kembali dengan mudah. Ia pun memutuskan untuk pergi saja dari tempat itu, yang langsung dihentikan Kak Zaldy dengan mengcengkram pergelangan tangannya.
                “Apa-apaan, sih, Kak? Lepasin!” teriak Ariana sambil berusaha membebaskan tangannya. Namun Kak Zaldy malah menguatkan cengkramannya. Keduanya sama-sama dipenuhi amarah.
                “Enggak ada alasan? Kamu bodoh! Memangnya kamu tidak menyadarinya selama ini? Kamu kira apa lagi alasan saya memperhatikanmu selama ini? Apa kamu menganggap itu hanya perhatian dari senior kepada junior? Apa kamu pernah melihat saya memberikan perlakuan yang sama denganmu pada anggota lainnya? Ya, kamu mungkin sudah mulai menangkap maksudku, itu semua karena aku menyukaimu!”
                 Ariana kaget. Bukan karena ucapan Kak Zaldy, melainkan karena melihat sosok yang sedang menjadi topik utama di koridor, tak jauh dari tempatnya dan Kak Zaldy berdiri.
                Orang itu adalah Kak Putra. Awalnya ia memang diam saja sehabis mendengarkan pernyataan langsung Kak Zaldy barusan, namun setelah menghela napas dan suasana yang mulai mencair, barulah ia menghampiri Ariana.
                “Kak Zaldy, Ariana, maaf ganggu pembicaraan kalian. Tapi sebentar lagi akan ada evaluasi tim, dan pelatih meminta saya untuk menjemput Ariana. Apa bisa saya bawa Ariana saat ini?”
                Kak Zaldy pun menghembuskan napas keras, lalu pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun, meninggalkan Ariana dan Kak Putra berdua saja.
                “Maaf, ya. Saya ganggu obrolan kalian?” ucap Kak Putra. Jujur saja ia merasa bersalah. Namun Ariana hanya tersenyum manis.
                “Enggak apa-apa, Kak. Yuk kita pergi.”
                Di perjalanan menuju kantin, mereka saling diam. Tak berani menyuarakan apa pun. Terlalu bingung pada apa yang baru saja diketahui. Merasa sesak pada keheningan, akhirnya Kak Putra pun membuka percakapan.
                “Terima kasih, ya, Ariana.”
                Ariana menoleh. Jalan mereka terhenti.
                “Terima kasih? Untuk apa?”
                Karena menyukai saya, batin Kak Putra.
                “Karena perhatian dan bantuanmu selama ini. Sangat berguna, terima kasih,” ujar Kak Putra lagi, tersenyum. Ariana langsung menunduk memandangi sepatunya. Ia terlalu malu dan bingung. Hatinya kembali berkecamuk. Ia kembali bimbang. Tekadnya untuk melupakan perasaannya nampaknya sudah berlari lagi. Terlalu jauh untuk dikejar..
                “Sudah tugas saya untuk melakukannya, Kak. Jadi Kakak tidak perlu berterima kasih..” jawabnya. Suasana menjadi semakin canggung. Kak Putra juga sudah tak berani lagi memandang apalagi mengatakan apa pun pada Ariana. Niat sebenarnya hanyalah ingin berterima kasih, pada perasaan Ariana, yang tidak pernah bisa ia ucapkan karena takut membuat gadis itu berlari lagi..
                “Oh, iya, selamat ya atas kemenangan Kakak hari ini. Kakak pasti sangat senang, kan, kukira?”
                “Iya, sangat senang. Sekali lagi terima kasih, Ariana,” ucapnya, sambil tersenyum, dan tertegun karena kesadaran baru yang mendadak muncul.

*Bersambung*


               
                 
               
               




Selasa, 01 Januari 2013

Cerbung - Heaven (Part 3)

Sinar matahari pagi, menyusup malu-malu melalui celah gorden biru, yang masih dibiarkan setengah tertutup untuk menghalangi dinginnya angin pagi yang berembus, hendak memaksa mengilui tulang. Namun usaha sang angin dingin itu tidak menemui hasil, karena tak ada satu pun tulang berbungkus daging yang berada di kamar itu. Semua orang sedang berada di dapur. Dua gadis muda nan cantik menyerupai bidadari, Aisha dan Zahra, tengah asyik memasak sarapan, ditemani oleh ibunda Zahra yang hanya bisa duduk tersenyum di meja makan, mengawasi kedua gadis itu.

"Terima kasih banyak, Nak Ica, sudah temani ibu dan Zahra semalam," ujar Ibu Zahra. Mendengarnya, Aisha hanya tersenyum manis, sambil menuang telur orak-ariknya ke tiga piring yang tersedia. Zahra yang berdiri di sampingnya pun ikut tersenyum.

"Kalau boleh jujur ya, bu, Zahra kepingin banget supaya Kak Ica jadi istrinya Kak Agus. Habisnya Kak Ica cantik, sholehah, dan baik sih. Hehehehehe.." celetuk Zahra, yang langsung mendapat cubitan pelan dari Aisha yang wajahnya memerah. Ibunda Zahra pun hanya tersenyum melihat kepolosan anak bungsunya itu. Sebenarnya dalam hati, ia juga mengharapkan Aisha untuk menjadi menantunya. Walau selama ini keluarganya dan keluarga Aisha sudah menjalin hubungan yang sangat baik, ia tidak ingin memaksakan kehendak. Biarlah anak-anak itu sendiri yang memilih jalannya.

"Ibu sih setuju-setuju saja, Zahra. Tapi, apa mau Kak Ica mu itu dinikahkan dengan Kak Agus? kalau mau, ya tinggal tunggu lulus saja, toh? Kak Agusnya juga sudah mau dijodohkan sama Ica, hehehe.." timpal Ibu Zahra. Mendengarnya, Aisha tidak bisa berkomentar apa-apa. Sejak kecil, Agus memang selalu mengatakan bahwa ia akan menikahi Aisha suatu saat nanti. Namun tidak pernah dianggap serius oleh Aisha, karena ia memang tidak pernah merasakan apa-apa pada Agus, selain teman baik.

"Sudah-sudah, Ibu sama Zahra godain aku terus nih daritadi. Lebih baik kita sarapan saja dulu, sebelum telurnya dingin, hehehe."

***
"Aisha, kamu sudah bikin PR?"

Pagi yang biasa di kelas, saat hampir seluruh siswa sibuk menyalin PR. Begitu pun dengan Aisha, ketika ia baru duduk di kursinya, tiba-tiba beberapa temannya menghampirinya, dan menanyakan apakah ia sudah mengerjakan PR. Ditanyai seperti itu, mendadak Aisha langsung menepuk dahinya. Ia cari-cari buku PR-nya di dalam tas, namun hasilnya nihil. 

"Kok, buku PR aku enggak ada, ya?" gumam Aisha, khawatir. Tak lama ia mengobrak-abrik tasnya sekali lagi, tiba-tiba ia langsung teringat bahwa buku PR-nya tertinggal di Masjid. Minggu lalu, ia memang memilih untuk langsung mengerjakan tugasnya saja sepulang sekolah. Kebetulan memang ada jadwal mentoring saat itu, jadi Aisha sekalian mengerjakannya di sana.

"Maaf ya, teman-teman. Aku ke Masjid dulu, buku PR-ku ketinggalan di sana, hehe," ujar Aisha.

Sesampainya di Masjid, ia langsung naik ke lantai 2, Masjid khusus anak perempuan. Di sana ada sebuah rak yang berisi buku-buku. Aisha pun menyisir rak itu, namun tidak ditemukan bukunya di sana. Tiba-tiba pundak Aisha ditepuk dari belakang, dan ketika berbalik, terlihatlah wajah manis milik Kak Yuni, anggota Rohis di sekolahnya.

"Assalamu'alaikum, Aisha. Lagi cari apa?" tanya Kak Yuni.
"Wa'alaikumsalam, Kak. Aku lagi cari buku PR Kimia-ku.." jawab Aisha. Matanya mulai mendung, takut kalau bukunya tak juga ditemukan.
"Kimia, ya? kalau tidak salah semua buku yang tertinggal di sini, disimpan di Sekret Rohis. Itu pengumumannya di Mading," balas Kak Yuni, sambil menunjuk Majalah Dinding yang terletak persis di belakang Aisha. Memang ada pengumuman tentang itu di sana. Akhirnya tanpa menunggu lama, Aisha langsung pamit pada Kak Yuni, dan bergegas turun menuju Sekretariat yang letaknya persis di depan Masjid.

Ruangan itu pintunya setengah terbuka. Sebenarnya ia ragu-ragu untuk masuk, namun demi PR-nya, ia pun mengetuk pintunya dan mengucapkan salam. Sebenarnya ia sudah bisa melihat punggung seseorang di dalam. Ketika sudah ada suara jawaban salam, Aisha pun melebarkan pintunya, dan melihat dua orang laki-laki di sana. Seorang dari mereka Aisha kenal sebagai Tresna, teman sekelasnya. Dan yang seorang lagi, Aisha sempat menahan napas selama beberapa detik, adalah Kak Arul. Kedua orang itu pun balas memandang Aisha, agak terkejut.

"Mohon maaf saya mengganggu, saya mau mengambil buku PR saya yang tertinggal di Masjid. Di mana saya bisa menemukannya, kira-kira?" tanya Aisha, mencairkan kegugupan yang menyelimuti ruangan itu. Tresna pun menyodorkan buku tulis yang sedang dipegangnya sejak tadi ke arah Aisha.

"Ini, Sha. Tadinya mau aku bawa ke kelas, eeh kamunya sudah datang duluan, hehe.." timpal Tresna (wajah putihnya mendadak memerah saat Aisha menerima bukunya). "Lain kali, jangan suka tinggal buku ya. Kalau sampai hilang, kan repot."

"Kalau tertinggal di Masjid, Insya Allah aman. Tapi benar juga apa kata Tresna, tidak baik meninggalkan buku seperti itu.." Kak Arul ikut mengomentari, yang langsung membuat Aisha menelan ludah grogi. Gadis itu pun hanya mengangguk sambil tersenyum sopan.

"I.. iya, Kak. Saya mengerti. Kalau begitu, saya pamit ke kelas dulu. Assalamu'alaikum.."

***
Benar-benar membuat jantung hampir melompat. Batin Arul, setelah gadis impiannya baru saja meninggalkan sekretariat tempatnya duduk saat ini. Kalau boleh jujur, napasnya terengah-engah karena terus ditahan. Tresna, adik kelasnya pun terlihat sama groginya. Wajahnya yang putih, tak mampu menyembunyikan merahnya yang mulai muncul saat gadis itu menampakkan dirinya dari balik pintu. Dari gelagatnya saja, Arul sudah bisa mengetahui bahwa Tresna juga menyukai Aisha.

"Gadis tadi, Aisha, teman sekelasmu, Na?" tanya Arul (sebenarnya ia sudah tahu, namun memilih bertanya agar terlihat wajar). Tresna yang wajahnya masih memerah pun mengangguk. "Saya pernah baca cerpennya. Bagus sekali."

"Aisha memang enggak ada duanya, Kak. Di kelas, dia itu paling pintar, manis, rajin, lembut, dan.. pokoknya hampir sempurna deh.. tipe gadis idaman banget.. hehe," jawab Tresna, sambil menggaruk kepala belakangnya, menandakan ia sedang malu. Arul pun hanya tersenyum mendengarnya, karena deskripsi dari Tresna barusan memang tepat seperti yang selama ini ia tahu. Aisha Nur Arsyi.. gadis yang pernah membalut lukanya saat habis berkelahi dengan pemalak remaja pada saat SMP dulu..

"hmm.. begitu.. oh, iya, mengenai seminar junalistik yang tadi kita bicarakan, saya rasa semua persiapan kalian, panitia, sudah oke. Jadi tinggal urus kelengkapannya saja, ya? saya yakin acaranya bisa berjalan sukses," ujar Arul. "Sebentar lagi bel masuk, lebih baik kamu segera kembali ke kelas, Na. Siapa tahu ada temanmu yang butuh bantuan mengerjakan PR-nya, hehe."

"Ah, iya benar, Kak. Terima kasih banyak atas pendapatnya, kami sangat menghargainya, loh, hehe. Kalau begitu saya ke kelas dulu, Kak. Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumsalam.." balas Arul. Setelah Tresna pergi, kenangan pertemuan pertamanya dengan Aisha pun kembali muncul. Saat SMP dulu, ia masih bandel dan jago berkelahi. Namun, tak pernah sekali pun ia duluan yang memulai perkara. Dalam artian, ia memang bandel, namun bukan tipe anak pembuat masalah. Suatu ketika, ia pulang sekolah sendirian. Karena sedang ada demo besar-besaran dari supir angkutan kota di dekat sekolahnya, ia pun terpaksa jalan kaki ke rumah. Sebenarnya ia tahu, ada sekumpulan remaja tak sekolah yang biasa "mangkal" di salah satu jalan sepi menuju rumahnya. Namun karena tak ingin membuang waktu dengan mengambil rute lain, akhirnya ia pun nekat melewati jalan itu. Profil Arul yang terkenal jago berkelahi pun tak disia-siakan oleh para remaja itu. Di cegahlah perjalanan Arul di sana. Karena bersikeras tak mau menyerahnya uang sakunya, perkelahian pun di mulai. Satu lawan delapan. Awalnya Arul masih bisa menanganinya dengan mulus. Namun karena kebetulan kesehatannya sedang kurang baik, staminanya pun malah habis di tengah perkelahian. Dikeroyoklah Arul oleh kedelapan remaja itu, sampai ia sendiri tak bisa melakukan apa-apa selain melindungi kepalanya dengan kedua tangan. Setelah remaja-remaja itu puas, Arul pun mereka tinggalkan dalam keadaan babak belur. Darah segar mengalir dari robekan lengan bajunya. Arul yang kesakitan  memilih untuk tetap berbaring di jalan, menunggu rasa nyerinya berkurang. Tiba-tiba, datang seorang gadis menghampirinya. Melihat banyak darah yang mengalir, gadis itu pun (tanpa terduga) merobek ujung kemeja bawahnya yang memang sengaja dibiarkan panjang (model seragam sekolah perempuan berjilbab) dengan gunting dari tasnya, dan membalut luka Arul dengan itu. Diam-diam Arul memperhatikan gadis manis itu. Wajahnya cantik, putih.. dan sama-sama memakai seragam SMP, dengan tanda lokasi yang sama dengan seragamnya. Ternyata mereka satu sekolah. Mendadak tak terasa lagi nyeri di tangannya. Digantikan oleh desir halus nan menggelitik dari dadanya yang membuatnya merasa terganggu dan.. bahagia? 

"Terima kasih banyak ya, sudah membalut luka saya.. kalau boleh tahu, nama kamu siapa?" tanya Arul, berniat tak ingin kehilangan identitas sang peri penolongnya. Gadis itu pun tersenyum manis, sambil membantu Arul berdiri.

"Sama-sama.. nama saya, Aisha Nur Arsyi.."
*Bersambung*