Minggu, 05 Mei 2013

Tugas Softskill PKN - Warganegara Menurut UUD Pasal 26, Pribumi dan Non Pribumi


PENGERTIAN WARGANEGARA MENURUT PASAL 26 UUD 1945
Indonesia merupakan negara yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke. Ratusan bahkan ribuan pulau mendayangi nama bumi pertiwi yang agung sejak zaman nenek moyang karena kemahsyuran kekayaan alamnya. Berbagai suku bangsa tak dapat dihitung jumlahnya saking beraneka ragam. Ketika zaman sebelum kemerdekaan dulu, Indonesia banyak disinggahi oleh negara-negara yang berperan cukup besar dalam proses “pembentukan” keunikan budaya bangsa kita ini. Mulai dari bangsa Arab, China, sampai bangsa-bangsa yang berasal dari Eropa. Akibat percampuran beberapa negara tersebut, penduduk Indonesia sebagian ada yang ciri-ciri fisiknya tidak sama dengan penduduk pribumi, namun apakah mereka yang “tidak sama” secara fisik itu bisa dikatakan sebagai warga negara Indonesia?
Kita sering menyebut diri kita sendiri sebagai warganegara Indonesia, tanpa tahu pengertian khusus mengenai ketentuan untuk menjadi warganegara Indonesia itu sendiri. Lalu apakah yang dimaksud dengan warga negara menurut Undang-undang?
Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 26 (terdiri dari 3 ayat), warga negara adalah:
(1)   Orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai warganegara,
(2)   Penduduk, yang merupakan warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia, dan
(3)   Hal-hal yang mengenai warganegara dan penduduk diatur dalam Undang-Undang.
Bisa kita analisis dari ayat pertama UUD 1945 Pasal 26 di atas, warga negara adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai warga negara. Jadi kesimpulannya, untuk menjadi warga negara Indonesia tak harus memiliki ciri-ciri fisik asli Indonesia, atau pun harus lahir dan dibesarkan di Indonesia, melainkan memiliki legalitas menurut Undang-Undang yang berlaku. Sehingga tak perlu ada diskriminasi antara penduduk pribumi dan non-pribumi hanya karena perbedaan-perbedaan yang sebenarnya membuat kaya bangsa ini.
PENDUDUK ASLI INDONESIA DAN DOMISILINYA
Penduduk asli Indonesia itu seperti apa, dan di mana domisilinya?
Berdasarkan fosil-fosil yang telah ditemukan di wilayah Indonesia, dapat dipastikan bahwa sejak dua juta tahun yang lalu wilayah ini telah dihuni. Penghuninya adalah manusia-manusia purba dengan kebudayaan batu tua atau mesolithicum seperti Megantrhropus Paleo Javanicus. Proses munculnya masyarakat paling awal di kepulauan Indonesia diperkirakan terjadi pada zaman Paleolithikum. Secara Arkeologis, diperkirakan masyarakat ini muncul dan menyebar dari daratan Asia ke Indonesia. Hal ini dibuktikan melalui penemuan beberapa peralatan yang memiliki kesamaan ciri, seperti kapak di India, Myanmar, China, Jepang, Filipina, dan Indonesia. Penyebaran manusia ini tentu membawa dampak menyebarnya pula alat komunikasi mereka, yakni bahasa. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa proses penyebaran manusia secara arkeologis dan linguistik di Indonesia terjadi bersamaan.
Manusia yang kita kenal sekarang ini tidak muncul begitu saja di atas bumi. Manuisa modern telah mengalami proses perkembangan yang sangat panjang dan memerlukan waktu yang sangat lama. Di Indonesia, peninggalan fosil manusia purba sebagian besar ditemukan di Pulau Jawa, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur. Beberapa Meganthropus Paleojavanicus ditemukan pada tahun 1936-1941 di daerah Sangiran (Kabupaten Sragen, Jawa Tengah) oleh Ralph von Koeningswald. Jenis manusia purba ini dianggap paling tua dengan bentuk fisik yang besar. Rahang bawahnya mempunyai batang yang sangat tegap dan geraham yang besar. Mukanya diperkirakan terkesan kuat dengan tulang pipi tebal, tonjolan kening mencolok, tonjolan belakang kepala tajam, otot-otot tengkuk kuat, dan perawakan tegap.
Pithecanthropus mojokertensis atau Pithecanthropus robustus ditemukan pada tahun 1936 di daerah Peming, Mojokerto, Jawa Timur. Penemunya adalah Weidenreich dan Ralp von Koeningswald. Penemuan ini berupa fosil manusia purba anak-anak. Dilihat dari ukuran sendi rahang bawahnya, fosil ini berusia sekitar 6 tahun. Isi tengkorang dari fosil menusia purba ini diperkirakan sekitar 650cc dan akan mencapai sekitar 1000cc setelah ia menjadi dewasa. Ciri lain dari ras manusia purba ini adalah adanya ruang di antara gigi seri samping dan taring dan adanya tiga buah akar geraham muka pertama pada rahang atasnya 3 buah. Baik rahang atas mau pun rahang bawah, memiliki ciri-ciri gigi geraham kedua sebagai gigi yang terbesar dan gigi depan yang kecil. Diperkirakan bahwa Pithecanthropus mojokertensis imi memiliki tubuh yang tegap. Fosil ini diperkirakan hidup pada zaman pleistosen awal bersama dengan Meganthropus paleojavanicus, yaitu sekitar tahun 400 SM.
Pithecanthropus erectus atau manusia kera yang sudah dapat berjalan tegak ditemukan oleh Eugene Dubois pada tahun 1891 di Desa Trinil, lembah Bengawan Solo, Jawa Tengah. Ciri manusia purba ini adalah rahangnya menonjol ke depan, terdapat tonjolan kening di dahi, dagu tidak ada, hidung lebar, pipi menonjol ke depan dan ke samping, leher tegap dan miring ke belakang, alat pengunyah cukup kuat, dan badan tegap. Volume otaknya antara otak kera dan manusia.
Pithecantrhopus soloensis ditemukan di Desa Ngandong, lembah Bengawan Solo, pada tahun 1931-1933 oleh Ter Haar, Oppenoorth, dan Ralp von Koeningswald. Mereka menamainya Pithecanthropus soloensis yang artinya manusia kera dari Solo. Manusia purba ini memiliki tengkorak lonjong, tebal, dan masif. Dahinya lebih berisi, akar hidungnya lebar, dan rongga matanya sangat panjang. Melalui ciri-ciri dasar tengkoraknya, dapat disimpulkan bahwa letak kepala di atas tulang belakang belumlah seperti manusia modern. Namun lebih tinggi tingkatnya dibandingjan dengan Pithecanthropus erectus. Sebagian ahli menganggap makhluk ini merupakan bagian dari Homo sapiens.
Homo wajakensis ditemukan di Desa Wajak, Tulungagung, Jawa Timur, oleh van Reictshotten pada tahun 1889. Jenis manusia purba ini termasuk Homo sapiens pertama di Asia. Homo wajakensis memiliki tengkorak besar dengan volume sekitar 1630 cc. Mukanya datar dan lebar, akar hidungnya lebar, dan bagian mulutnya sedikit menonjol. Dahinya agak miring dan di atas rongga matanya terdapat busur kening yang nyata.  Rahangnya tergolong masif. Jenis manusia purba ini memiliki gigi yang besar. Ketika menggigit, gigi seri atas akan tepat mengenai gigi bawah. Tubuhnya berdiri tegak dengan tinggi sekitar 173 cm.
Selain di Indonesia, jejak manusia purba juga ditemukan di tempat-tempat lain, baik di Asia, Afrika, maupun Eropa. Penemuan-penemuan ini sangat membantu para ahli dalam mencari dan mempelajari jejak manusia purba dan kebudayaannya di dunia. Di Asia, fosil manusia purba ditemukan di Choukoutien, China. Fosil ini diberi nama Sinanthropus pekinensis. Berdasarkan penelitian para ahli, fosil ini memiliki banyak persamaan dengan fosil Pithecanthropus erectus di Jawa, kecuali volume otaknya sedikit lebih besar. Namun demikian benda-benda budaya yang ditemukan memiliki persamaan sehingga diperkirakan keduanya hidup pada zaman yang sama. Perbandingan besaran otak kepala manusia purba yang ditemukan di Indonesia terlihat bahwa manusia purba yang memiliki volume otak paling besar adalah Homo wajakensi dan yang paling kecil adalah Pithecanthropus.
MUNCULNYA ISU PRIBUMI DAN NON PRIBUMI
A          : “Kamu orang Indonesia, ya?”
B          : “Iya, benar. Kamu kok tahu?”
A          : “Soalnya wajah kamu pribumi banget sih.”

Percakapan di atas mungkin pernah kita dengar, atau mungkin kita lakukan dengan seseorang. Mengatakan orang lain pribumi atau pun non pribumi berdasarkan dari wajah atau ciri-ciri fisik lainnya. Apakah hal itu salah? Apakah memiliki pemikiran yang membedakan manusia dengan manusia lainnya sebagai pribumi atau pun non pribumi itu salah?
Seperti yang sudah dijelaskan di bagian sebelumnya, bahwa Penduduk asli Indonesia itu sebenarnya berasal dari wilayah Asia, sehingga terdapat kemiripan dengan negara-negara Asia lainnya. Namun perbedaan itulah yang sering membuat masyarakat memiliki pemikiran yang membeda-bedakan ciri-ciri fisik sebagai indikator orang pribumi mau pun yang tidak, yang cenderung saling meremehkan dan merasa paling benar dan terbaik. Padahal itu sangatlah bertentangan dengan semboyan negara kita yang berbunyi “Bhineka Tunggal Ika”, atau walau pun berbeda-beda tetap satu jua. Kurangnya pendidikan dan wawasan berbangsa dan bernegara lah yang menyebabkan pemikiran tersebut muncul. Sehingga isu mengenai pribumi dan non pribumi masih menjadi pemisah persatuan rakyat yang masih ditemukan sampai detik ini.
PRIBUMI DAN NON PRIBUMI
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pribumi merupakan penghuni asli, orang yang berasal dari tempat yang bersangkutan. Sedangkan non pribumi berarti bukan pribumi atau penduduk yang bukan penduduk asli suatu negara. Dengan demikian, pribumi merupakan penduduk asli yang lahir, tumbuh, dan berkembang serta berasal dari suatu negara.
YANG TERMASUK NON PRIBUMI
Di Indonesia, selain penduduk asli Indonesia, ada juga penduduk keturunan asing yang berasal dari China, India, dll. Penduduk pendatang itulah yang biasanya disebut sebagai non pribumi. Dikarenakan oleh perbedaan warna kulit, rambut, postur tubuh, dan ciri-ciri lainnya. Kalau masing-masing etnis memiliki tenggang rasa yang tinggi, maka tak akan ada masalah serius yang bisa mengganggu ketertiban persatuan bangsa. Namun yang sangat dikhawatirkan adalah adanya apriori antar etnis sehingga persatuan dan kesadaran akan pentingnya menjunjung tinggi hak warga negara lain memudar. Apalagi jika perbedaan etnis tersebut malah menyebabkan perbedaan perlakuan masyarakat kepada etnis-etnis yang dianggap bukan penduduk asli.
MENONJOLNYA ISTILAH NON PRIBUMI DI KALANGAN TIONGHOA
Istilah munculnya non pribumi berawal dari masa orde baru dimana terjadi pergolakan politik yang dahsyat di Indonesia. Bersamaan dengan itu, Orde Baru juga melarang segala sesuatu yang berhubungan dengan etnis China, baik kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat. Selain itu, masyarakat China dicurigai masih memiliki ikatan yang kuat dengan tanah leluhurnya sehingga rasa nasionalisme dengan Indonesia diragukan. Akibatnya, muncuk diskriminatif terhadap etnis China.
Namun setelah Orde Reformasi ditegakkan, kehidupan masyarakat Tionghoa yang awalnya sangat tertutup kini telah dibuka kembali. Kalangan pengusaha berusaha untuk menghidari cara kotor dalam berbisnis walaupun selalu menjadi sasaran pengusaha dan birokrat. Para pemimpin era reformasi lebih toleran dibandingkan dengan pemerintahan masa orde baru.
LANGKAH UNTUK MENGHILANGKAN ISU PRIBUMI DAN NON PRIBUMI DI INDONESIA
Indonesia merupakan negara yang terdiri dari beraneka ragam suku, agama, ras, dan budaya. Setiap keragaman yang disebutkan barusan, masing-masing memiliki keunggulan. Penduduk asli maupun penduduk pendatang memiliki keunggulan masing-masing pula. Tak ada yang pantas untuk meremehkan satu sama lain. Sehingga, langkah utama yang harus diambil oleh masing-masing “pihak” adalah menumbuhkan rasa saling menghargai dan tenggang rasa yang tinggi. Hilangkan semua pandangan buruk mengenai pribumi mau pun non pribumi. Anggaplah semua orang yang bertempat tinggal di bumi Indonesia ini adalah bersaudara, sehingga tak ada lagi pertentangan atau ajang saling meremehkan.
Sumber:
Magadalia Alfian dkk, 2007, SEJARAH untuk SMA dan MA Kelas X, Jakarta, Esis (imprint dari penerbit Erlangga).


Cerbung - Heaven (part 5)


Panggungnya kok besar sekali ya...
Beberapa menit lagi adalah giliran Aisha naik panggung untuk menjadi pembicara pada seminar jurnalistik di SMA-nya. Wajahnya sudah dirias cantik. Baju yang disiapkan panitia untuknya pun tampak anggun dan manis dikenakannya. Jilbab panjang namun modis menyempurnakan kecantikan gadis 16 tahun itu. Bulu matanya yang lentik mempercantik parasnya, yang kini berkali-kali memejamkan mata menahan segala keberanian yang nampaknya tengah melompat keluar meninggalkan raganya. Kalau boleh jujur, ia grogi setengah mati, mengingat pertemuannya dengan Muhammad Fachrullah dan kembarannya yang pandai tersenyum tadi pagi, yang tak terelakkan lagi mereka akan duduk di antara ratusan penonton. Bagaimana kalau nanti ia salah bicara? Apa ia rela mempermalukan dirinya sendiri?
“Aisha, satu menit lagi giliranmu naik panggung. Kamu siap?” Erna, panitia, menghampirinya. Aisha pun agak terperanjat karena sebelumnya ia sedang melamun. Menyadari Erna tengah menunggu jawabannya, Aisha pun hanya mengangguk dan tersenyum. Erna ikut mengangguk juga sambil menepuk bahu Aisha, dan memberi kode pada pembawa acara untuk mempersilakan Aisha  naik panggung.
Inilah dia, teman kita, sahabat kita, seorang penulis muda berbakat yang karyanya sudah diakui nasional, mari kita sambut, Aisha Nur Arsyi!”
Aisha melangkahkan kakinya dengan percaya diri ke atas panggung. Keberaniannya yang sempat surut kini tak terduga muncul kembali seratus persen. Ia tatap penonton yang hadir untuk mempertegas keberaniannya lagi. Di barisan ketiga bangku penonton, ia menemukan Alika dan teman-temannya yang lain. Mereka bertepuk tangan riuh, sama persis ketika di TMII beberapa waktu lalu, saat ia mendapatkan penghargaan pertamanya. Rasa haru pun mendadak menyerangnya.
Assalamu’alaikum, Aisha. Selamat datang di acara talkshow seminar jurnalistik ini. Kamu sungguh cantik, Aisha, aku jujur, hehe,” sapa Rasti, sang moderator talkshow, membuka dengan sangat renyah. Dipuji seperti itu membuat pipi Aisha memerah. Dari kelas satu dulu, Rasti memang terkenal pandai berkata-kata, pantas saja ia ditunjuk panitia untuk menjadi moderator di sesi talkshow ini.
Wa’alaikumsalam, terima kasih atas pujianmu, Rasti. Hehehehe..” balas Aisha, malu-malu. Rasti sang moderator pun memperkenalkan profil Aisha kepada penonton melalui tayangan slide terlebih dahulu sebelum masuk ke inti pembicaraan. Sambil menunggu sesi perkenalannya selesai, Aisha menyapu pandangannya ke penonton. Kembali matanya tertancap pada satu titik, ke baris kedua bagian kiri, ke arah Muhammad Fachrullah yang saat ini sedang sibuk dengan ponselnya. Dalam hati Aisha sangat lega karena tak harus bertemu mata dengannya. Namun saat pandangannya bergeser sedikit ke sebelah kanan, ia pun kaget karena Muhammad Fauzan kini tengah menatapnya. Senyumannya seakan abadi, tanpa terduga laki-laki itu malah melambai pada Aisha. Membuat jantungnya hampir melompat saking terkejutnya. Namun perhatian Aisha langsung teralih ketika Rasti memanggil namanya.
“Aisha, apa kabar? Bagaimana perasaanmu bisa hadir di panggung ini?”
Alhamdulillah aku baik.. hehe.. bisa hadir di panggung ini, tentu saja aku merasa senang.”
“Umurmu baru enam belas tahun, tapi sudah bisa menulis cerpen yang mampu menggegerkan kita semua, rahasianya apa sih sehingga bisa seperti itu? Apa ada jurus khusus begitu?”
“rahasia? Hmm.. tidak ada yang spesial.. yang perlu dilakukan hanyalah mencurahkan kata hati dan pikiran ke dalam sebuah tulisan.. tanpa memikirkan tulisan itu akan bagus atau tidak, yang penting murni dari hati.. dan tentu saja banyak-banyak membaca sih hehehehe..”
Tepuk tangan menggema di seluruh ruangan sehabis mendengar jawaban Aisha barusan. Walau cara bicaranya masih terdengar kekanak-kanakan, namun arti yang tersimpan dari kalimatnya sangat mengena. Itulah salah satu kelebihan dari Aisha Nur Arsyi.
“waah, bagus sekali jawabannya, ya, hehehe.. oh iya, sebelum saya lanjutkan, talkshow kita kali ini dengan Aisha memang tidak membahas mengenai jurnalistik sesuai nama dari seminar ini sendiri, namun hal itu sengaja kami sajikan agar teman-teman semua bisa terinspirasi untuk menulis seperti Aisha. Baiklah, kembali ke Aisha, hehehe...
“Aisha, kalau boleh tahu, siapa sih sebenarnya inspirasi kamu dalam menulis? Siapa yang memberikan pengaruh paling banyak untukmu sehingga bisa menghasilkan tulisan sebagus itu?” tanya Rasti lagi. Aisha tidak langsung menjawab. Ia hanya memejamkan matanya, menahan buncahan perasaan yang terpaksa meletup karena kenangan mengenai almarhum ayahnya muncul kembali.
“Inspirasi.. aku terpengaruh oleh ayahku sendiri.. beliau memang bukan penulis, namun beliau selalu menyempatkan dirinya untuk membaca karya-karyaku seperti cerpen dan puisi saat kecil dulu.. memberikan masukan, pujian, bahkan kritikan yang membangun.. kurasa tak ada lagi kalimat yang pantas untuk mendeskripsikan jasa beliau dalam menjadikanku seperti sekarang ini.. namun, selain beliau, masih ada lagi yang memberikan pengaruh besar untukku..” jeda sejenak, Aisha menarik napas, mengumpulkan ingatannya. “Selain ayah, aku termotivasi oleh seseorang yang bahkan nama aslinya saja aku tidak tahu.. dia adalah sang penulis cerbung mading di SMP ku dulu..”
Jawaban Aisha barusan sukses membuat Fauzan tertegun. Penulis cerbung mading di SMP dulu? Berarti... Ia pun menegakkan duduknya untuk sekedar mengambil napas dalam-dalam. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia lirik Arul di sampingnya. Ekspresinya masih datar seperti biasa. Membuat Fauzan lebih lega.. lega sedikit..
Seminar jurnalistik berakhir dengan sukses. Efek dari kedua pembicara, yaitu Mas Rangga dan Aisha seakan masih menjadi topik pembicaraan hangat dari setiap peserta seminar yang kini tengah berbondong-bondong menuju pintu keluar aula acara. Tidak termasuk Arul tapinya. Kini ia tengah sibuk membuntuti seseorang yang memiliki ciri-ciri yang sama dengan pelaku pemukulan adiknya, Agus Hendrawan. Lelaki itu berjalan sangat cepat menerobos antrian.
“Agus.. Hendrawan? kamu Agus Hendrawan, kan?” orang yang dipanggil Agus Hendrawan itu pun berbalik, dan spontan matanya terbelalak melihat Arul sudah ada di belakangnya. Kaleng minuman yang baru saja dibelinya pun jatuh, menumpahkan hampir setengah dari isinya. Melihat sikap Agus itu membuat Arul ikut kaget juga. Namun buru-buru ia kuasai keterkejutannya dan memulai percakapan, sekedar mengumpulkan informasi...
“Elo.. elo Arul, kan? Kakaknya Fauzan?” tanya balik Agus. Jari-jarinya bergerak gelisah. Kemiripan Fauzan dan Arul hampir tanpa cela, kecuali gaya rambut dan cara berbicara mereka. Saat pertama Arul menegurnya tadi, sesaat ia merasa takut.. ia kira yang menepuk bahunya adalah Fauzan.. teman SMP-nya..
“Iya, saya Arul. Fauzan juga ada di sini ikut menonton seminar, kamu sudah bertemu dengannya?” Arul memancing. Ia ingin memastikan kecurigaannya. Ternyata sesuai dugaan, Agus malah makin grogi ketika ia menyebut nama Fauzan. Satu potong puzzle sudah terpasang...
“Aah.. Fauzan.. gue belom ketemu dia.. tapi sorry nih, gue buru-buru banget jadi gak bisa ngobrol lama-lama.. ya udah, Rul, gue duluan deh ya.. Assalamu’alaikum..” ujar Agus, tanpa menunggu jawaban salam dari Arul, dia langsung berbalik dan pergi. Arul pun hanya menjawab salamnya sambil terus memandangi punggung Agus yang makin menjauh, tanpa menyadari kehadiran Fauzan yang tengah berdiri di sampingnya.
“Dia Agus, kan? Kok buru-buru begitu, malah enggak nyapa aku lagi..” Arul spontan menoleh dan kaget setengah mati melihat Fauzan sudah di sampingnya. Adiknya memang masih mengenali Agus, namun ia sama sekali tidak bisa mengingat tentang kejadian pemukulannya itu karena luka benturan di kepalanya. Akibat kejadian itu pun kini Fauzan harus berjalan dengan bantuan tongkat. Lebih parahnya lagi, ingatannya menjadi tidak stabil, juga terkadang sulit berbicara jika keadaan hatinya sedang tidak tenang. Semacam efek trauma. Jika boleh jujur Arul sangat marah kepada siapa saja yang menyebabkan adiknya seperti ini, namun ia harus tetap berkepala dingin.. tidak boleh mudah terbawa emosi.. dan kembali menjadi Arul yang dulu.. Arul yang dulu..
“Dia bilang ada urusan.. makanya buru-buru.. ya sudah, Zan, lebih baik kita pulang sekarang. Kamu pasti sudah lelah sekali..”
Diajak pulang oleh kakaknya membuat Fauzan bimbang. Sebenarnya ia ingin sekali kembali ke dalam dan menemui Aisha, sekedar untuk memberi selamat atas penampilannya tadi. Arul pun nampaknya paham apa yang sedang dipikirkan adiknya.
“Kamu mau ke dalam lagi, ketemu Aisha?” tanya Arul. Sekuat mungkin menyembunyikan keinginannya untuk menemui Aisha juga. Fauzan setuju, dan mereka berdua langsung kembali ke sekolah. Namun ketika baru sampai gerbang, langkah mereka terhenti. Aisha dan Agus Hendrawan kini tengah berbicara serius, di jarak pendengaran mereka.
“Kamu itu kemana saja selama ini? Memangnya enggak sadar kalau ibu dan adikmu itu khawatir setengah mati? Di mana pikiranmu, hah?!” serang Aisha, pada laki-laki di depannya, yang walau sedang dimarahi masih saja senyum-senyum. “Kamu enggak perlu senyum-senyum!”
“Aku enggak kemana-mana, kok, Ca. Hanya ingin mendinginkan pikiran..” jawab Agus, kalem. Jawabannya itu sukses membuat Aisha melotot sambil berkacak pinggang. Pemandangan itu merupakan sesuatu yang baru bagi si kembar Arul dan Fauzan, yang selama ini tidak pernah sekali pun melihat Aisha marah-marah.
“Aku enggak mau tahu, kamu harus pulang sekarang juga! Kalau sampai enggak pulang lagi, jangan anggap aku pernah kenal kamu!” Aisha benar-benar kesal, terlebih orang yang sedang dimarahinya saat ini bukannya merenung malah terus senyum-senyum dari tadi. Namun ketika ia membuang muka, matanya langsung tertancap pada sosok kembar tak jauh dari tempatnya berdiri. Mendadak wajahnya memerah.. malu..
“Hai, Aisha!” sapa Fauzan, dengan senyumannya yang lebar, sambil berjalan pincang menghampiri gadis itu. “Wah, ada Agus juga! Sudah lama enggak ketemu, bro!”. Senyuman di wajah Agus hilang, digantikan oleh ketegangan. Terlebih saat melihat wajah Arul yang sama sekali tidak bersahabat. Di antara keempat orang itu, apabila diakumulasikan terdapat tiga wajah tegang, dan satu wajah bahagia luar biasa..
“Fauzan kenal Agus juga?” tanya Aisha, masih terkejut dengan kehadiran tiba-tiba dari dua bersaudara itu. Agus pun makin tegang wajahnya. Selain takut melihat tampang Arul, ia juga tidak suka kalau Aisha berbicara dengan pria lain. Walau dari dulu ia selalu ditolak oleh gadis itu, namun tetap saja..
“Iya, Agus itu temanku. Aku juga kaget kalau kalian ternyata saling kenal. Dunia ini memang sempit, ya? Ahahahaha,” Fauzan tertawa lepas, tidak menyadari ketegangan yang meradang di sekitarnya. “Oh, ya, Gus. Elo kok enggak pernah jenguk gue? Enggak khawatir sama temen lo yang lagi babak belur gini?”
“a.. gu.. gue.. gue sibuk, Zan.. maaf.. lagian gue lupa rumah lo di mana..” jawab Agus, ia sangat gugup saat menghindari tatapan tajam Arul. Melihat kedekatan mereka, Aisha pun tersenyum. Ia senang mengetahui sahabat masa kecilnya yang terkenal sangat galak dan tidak bersahabat dengan orang lain, kini memiliki teman juga. Apalagi temannya adalah kembaran Kang Arul..
“Gaya banget lo pake segala sibuk segala.. payah ah.. ya udah, sekarang lo udah liat kan kondisi gue? Pokoknya enggak mau tau, gue mau lo ikut ke rumah gue sekarang..” bujuk Fauzan, pura-pura merajuk. Arul pun menaikkan sebelah alisnya. Ia penasaran jawaban apa yang akan diberikan Agus, apakah ia akan terus menyangkal?
Sorry, Zan.. gue enggak bisa.. gue udah punya agenda lain abis ini.. maaf banget..” sangkal Agus, tanpa berani memandang wajah Fauzan. “Kalo gitu gue duluan deh, ya.. takut telat.. Ica, aku pergi dulu, Insya Allah aku pulang nanti malam, salam buat ibu dan Zahra, ya.. makasih sudah jagain mereka selama ini..”
Setelah berpamitan, Agus pun pergi. Aisha hendak undur diri juga, namun segera dicegah oleh Fauzan. Dalam hati Arul membatin, kelakuan adiknya ini sungguh berani. Sebenarnya ia selalu khawatir kalau Fauzan akan bertindak terlalu jauh. Ia tentu mengizinkan adiknya untuk menaruh perasaan pada seorang gadis, namun tak pernah bosan ia ingatkan Fauzan untuk menghindari kontak fisik. Karena baru saja Arul bersiap untuk menepis tangan Fauzan saat ia hendak mencegah kepergian Aisha dengan menahan tangannya..
“Ada apa, Fauzan? Aku mau kembali ke dalam untuk mengambil tas dan langsung pulang..” ujar Aisha. Fauzan pun tersenyum malu sambil menggaruk belakang kepalanya. Selama beberapa detik mereka tidak berbicara, sibuk dalam proses perangkaian kata-kata. Menghirup udara keheningan ini membuat Arul sulit bernapas.
“Penampilanmu tadi bagus sekali, selamat.. Aisha..” ujar Arul, tanpa terduga, memacu degup jantung tak beraturan lagi dalam dada Aisha. Gadis itu hanya tersenyum sambil menyilangkan tangan kanannya di dada, dan mengangguk sopan seraya mengucap terima kasih.
“Terima kasih banyak.. tapi tetap saja aku ini masih banyak kekurangannya..” balas Aisha. Kembali hening menyelimuti mereka. Akhirnya karena merasa tak ada alasan lagi untuk berlama-lama, Aisha benar-benar undur diri. Fauzan masih bungkam. Arul mati-matian menyembunyikan wajahnya yang ternyata mulai memerah..
“Selamat untukmu.. aku bangga..” batin Arul, sambil berbalik dan memapah adiknya berjalan menuju lapangan parkir tempat mobil mereka menunggu.
*Bersambung*