Rabu, 24 Juli 2013

Cerpen - PELITA DARI PENA



Aku terpana
Pada abu, yang setia kepada namanya
Yaitu abu
            Hanya tiga baris puisi itulah yang dibacakan Wulan di depan kelas, saat gurunya memintanya maju untuk menampilkan puisi buatannya. Hampir semua alis yang berada di kelas itu terangkat heran, termasuk milik Bu Eni, yang tebal dan hitam, juga masih menawan. Wulan yang karyanya begitu singkat, tidak merasa heran apalagi malu sama sekali. Ia hanya tersenyum, sambil memandangi wajah teman-temannya yang tercengang. Ia tahu, puisinya terlalu pendek. Namun, memangnya ada masalah dengan itu?
            “Puisimu luar biasa, Wulan. Luar biasa singkat,” ujar Bu Eni, tanpa ada niat untuk menyindir. Wulan kembali tersenyum. Ia tidak menyesal, karena kata hatinyalah yang mendorongnya menulis puisi yang tiga baris itu. Dengan masih percaya diri, ia mengucapkan terima kasih dan kembali duduk di tempatnya.
            Aku terpana.. pada abu, yang setia kepada namanya.. yaitu abu.. sebelum ibu bertanya sendiri pada Wulan, ada yang bisa memahami maksud dari puisi singkat ini? Sangat menarik untuk dijadikan bahan kajian sastra,” tanya Bu Eni kepada seluruh muridnya. Ditanyai seperti itu, tak ada satu pun yang mengajukan diri untuk menjawab. Seluruh kelas hening, menimbulkan efek desingan yang memekakkan telinga di tengah kesunyian. Karena tak ada yang menjawab, Bu Eni pun terpaksa meminta Wulan sendiri untuk menjelaskan isi dari puisi buatannya itu.
            “Sebelumnya aku minta maaf karena puisi buatanku terlalu singkat. Aku tidak bermaksud meremehkan tugas yang diberikan Ibu, melainkan hanya ingin menyuarakan apa yang sedang tersemat di hatiku saja, persis seperti yang Bu Eni ajarkan apabila ingin menulis sebuah puisi. Sebenarnya, puisi itu sudah menunjukkan artinya secara nyata. Tak ada maksud lain yang ingin kusampaikan selain apa yang sudah tertera di dalam puisiku itu. Aku terpana pada abu, karena ia setia pada namanya. Aku yakin teman-teman sudah ada yang menerka, abu memang memiliki warna yang sama dengan namanya. Abu, berwarna abu, selalu abu. Artinya dia setia. Bukankah begitu, Bu?” jawab Wulan, tegas dan tetap pada kelembutannya. Bu Eni tersenyum mendengar jawabannya. Ia sadar, muridnya yang bernama Wulandari ini benar-benar memiliki bakat besar di bidang sastra. Sebagai guru Bahasa Indonesia-nya, ia tidak akan menyia-nyiakan bakat muridnya ini.
            Saat pelajaran baru saja diteruskan, tiba-tiba pintu kelas diketuk. Kemudian masuklah Pak Iqbal, guru muda yang selalu menjadi idaman bagi semua siswi—bahkan guru-guru muda—di Sekolah Menengah Atas itu. Senyumannya yang menawan, ia lemparkan kepada seantero kelas, termasuk kepada Bu Eni, yang kini hanya setengah menunduk menyembunyikan wajahnya yang mulai merah jambu.
            “Pak Iqbal, apa ada sesuatu yang ingin disampaikan?”
            “Ah, iya, Bu Eni. Saya hanya ingin menyampaikan undangan rapat darurat dari kepala sekolah, sekarang juga, di ruangan beliau. Ada masalah mendesak yang harus segera dibicarakan. Rapat akan dimulai sepuluh menit lagi. Semua guru diperintahkan untuk menghentikan KBM, dan menghadiri rapat. Semua guru, tanpa terkecuali,” ujar Pak Iqbal. Bu Eni pun menyanggupi undangannya, dan langsung pamit kepada murid-muridnya, kemudian mengikuti Pak Iqbal keluar ruangan.
            “Kalau saya boleh tahu, masalah apa yang sedang terjadi, Pak?” tanya Bu Eni ketika dirinya dan Pak Iqbal berjalan berdua menuju ruang kepala sekolah. Dari jendela-jendela kelas yang mereka lewati, ia bisa rasakan ada beberapa mata yang mengawasinya. Mungkin milik murid atau guru, ia sudah tidak peduli lagi. Namun pikirannya mengenai siapa yang tengah mengawasinya pun terhenti dengan jawaban dari Pak Iqbal.
            “Ini tentang Seruni, anak pemilik yayasan sekolah ini. Ia bersikeras menuntutmu untuk mengikutkannya di lomba puisi itu. Saya tidak paham alasan apa yang membuat kamu tidak memilihnya alih-alih memilih Wulandari. Sepenglihatan saya, dia juga memiliki bakat yang luar biasa. Saya harap.. aku harap kamu berhati-hati, En..” jawab Pak Iqbal, kini kesan formal sudah dihilangkannya, digantikan oleh kekhawatiran yang dilontarkan dari seorang calon suami. Bu Eni diam. Ia jengkel setengah mati dengan apa yang akan dihadapinya nanti. Seakan jika ingin digeneralisasikan, persaingan antara Seruni dan Wulandari bisa menjadi simbol dari pertarungan antara orang kaya versus orang miskin.
            “Aku tidak habis pikir anak itu akan berani menuntutku.. ah, kepalaku sakit sekali, aku bisa gila!” Bu Eni berang. Ia percepat jalannya mendahului Pak Iqbal. Kerudung putih yang dikenakannya berkibar melawan arah angin ketika ia bergegas. Pak Iqbal menyusulnya dengan sabar di belakangnya, sambil tak henti-hentinya berdoa agar keadaan akan selalu baik-baik saja, terutama untuk calon istrinya itu.
***
            “Benar-benar, aku bisa gila, gila!”
            Kini Bu Eni dan Pak Iqbal tengah duduk berhadapan di suatu kedai kopi dan teh tak jauh dari sekolah tempat mereka mengajar. Pak Iqbal sengaja mengajak Bu Eni ke kedai itu karena ia tahu suasana hati gadis itu sedang tidak baik. Mungkin secangkir teh dapat menetralisir kemarahannya. Dengan sabar Pak Iqbal hanya diam mendengarkan curahan hati Bu Eni, karena ia tahu, secuil bantahan dapat memperburuk keadaan seperti di medan perang. Hal ini—mampir ke kedai kopi—memang hal yang rutin mereka lakukan, namun tidak ditemani dengan suasana kemarahan. Namun tetap saja, Pak Iqbal selalu menjadi Muhammad Iqbal yang penyabar, sama sabarnya seperti dulu saat dengan susah payah ia mengejar Bu Eni untuk mau menerima lamarannya. Eni Humaira, gadis paling keras kepala yang pernah ia temui di dunia ini.
            “Jadi, karena dia anak pemilik yayasan, aku harus menuruti semua perkataannya, begitu? Pecat aku jadi guru kalau itu memang harus dilakukan! Aku tidak percaya ini!” seru Bu Eni, sambil menyerang kue tart strawberry-nya. “Aku memang guru muda, masih naif. Aku tidak takut dengan ancaman bocah ingusan sepertinya!”
            “Eni Humaira.. tenangkan dirimu. Kemarahanmu hanya akan memperburuk suasana hati. Aku jamin, kau tidak akan pernah merasa tenang kalau bibirmu berdarah karena kau gigiti terus sepanjang rapat tadi. Ini, cepat basuh lukamu,” Pak Iqbal berusaha menenangkan Bu Eni. Buru-buru Bu Eni mencari cermin dari tasnya dan mengecek bibirnya. Ia sambar tisu yang disodorkan Pak Iqbal, dan membersihkan darah dari bibirnya. Ia benci keadaan seperti ini. Sungguh labil. Ia malu pada calon suaminya.
            “Maafkan aku.. aku sangat kekanakan.. aku malu, sungguh,” ujar Bu Eni. Pak Iqbal hanya tersenyum manis menanggapinya. Beberapa menit berlalu tanpa percakapan, hanya sesekali terdengar suara kopi dan teh yang disesap pelan-pelan.
            “Jadi, apa keputusanmu? Mempertahankan Wulandari atau menyerah pada Seruni?” tanya Pak Iqbal. Bu Eni mengembuskan napasnya secara terang-terangan. Kemudian melipat kedua tangannya di atas meja, lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Pak Iqbal.
            “Kamu mau tahu? Benar-benar ingin tahu?” bisik Bu Eni. Pak Iqbal pun mengangguk semangat dan langsung pasang telinga. “Kupikir, kamu harus cepat-cepat menikahiku, Mas. Karena menurutku, aku tidak akan bisa bekerja lagi di sekolah itu. Kau mengerti maksudku?”
            “Me.. menikah maksudmu?” Wajah Pak Iqbal merah padam, ia pun menjadi gugup. “Jadi, kamu memutuskan untuk mempertahankan Wulandari?”
            “Yup.. benar.. hehe..” jawab Bu Eni, ceria. Tawanya yang renyah membuat hati Pak Iqbal berdesir. Baru kali ini calon istrinya itu menawarkan diri untuk menikah, karena biasanya, walau ia sudah resmi melamarnya, Bu Eni sama sekali belum mau membicarakan masalah pernikahan. Bahkan Pak Iqbal sempat berpikir, Bu Eni mungkin lebih mencintai pekerjaannya sebagai guru daripada menjadi istrinya.
            “Apa pun keputusanmu, aku tidak akan membantah. Kau tidak perlu khawatir, aku selalu di belakangmu,” ujar Pak Iqbal tulus.
            “Terima kasih banyak. Doakan agar aku bisa mewujudkan impian Wulandari, mau pun impianku sendiri. Sekali lagi, terima kasih banyak, Mas,” balas Bu Eni.
            Keadaan sudah mencair. Bu Eni sudah mau tertawa lagi seperti biasa. Setelah menghabiskan sekitar satu jam di kedai itu, mereka pun memutuskan untuk pulang. Meninggalkan satu lagi kenangan manis di meja nomor tujuh tempat mereka selalu duduk, sejak dulu saat mereka masih di bangku SMA.
***
            “Kamu gugup?”
            Bu Eni dan Wulandari sudah berada di gedung kesenian, tempat diselenggarakannya lomba menulis dan membaca puisi tingkat Kota. Bu Eni memang teguh dengan pendiriannya, yaitu mempertahankan Wulandari. Ia tidak takut sama sekali dengan ancaman Seruni yang ingin memberhentikannya dari Sekolah. Ia tidak peduli. Satu-satunya yang ia pedulikan hanyalah Wulandari dan impiannya.
            “Saya tidak gugup, Bu. Saya memiliki firasat akan pulang dengan membawa piala hari ini, hehehe..” jawab Wulan. Kepercayaan dirinya yang tinggi adalah hal yang sangat disukai Bu Eni. Karena walaupun begitu, Wulandari tidak pernah sombong sama sekali. Ia tetap optimis, namun tidak melunturkan sikap rendah hatinya.
            “Bagus sekali. Ibu suka. Kamu tunggu di sini sebentar, ibu akan ke meja panitia menanyakan urutan tampilmu. Kamu jangan ke mana-mana. Ibu tidak ingin repot mencarimu kalau kamu hilang nanti. Mengerti?”
            Wulandari tersenyum dan mengangguk. Bu Eni pun meninggalkannya ke meja panitia. Tak lama kemudian, pundaknya ditepuk dari belakang. Pak Iqbal sudah berdiri di sampingnya, memakai pakaian kasual, membuat Wulan pangling. Ternyata dengan melepas seragam gurunya, Pak Iqbal lebih terlihat seperti anak muda lainnya. Tampan dan trendi, namun tetap menjunjung tinggi nilai kesopanan.
            “Bu Eni mau ke mana, Lan? Kamu sendirian saja di sini?” tanya Pak Iqbal.
            “Bu Eni sedang menanyakan urutan tampilku, Pak. Bapak sendiri kenapa ada di sini? Bukannya Bapak harusnya mengajar?” tanya balik Wulan, membuat wajah Pak Iqbal merah padam. Guru muda itu pun hanya nyengir sambil mengusap kepala belakangnya, grogi. Kalau boleh jujur, ia memang sedang “membolos” hari ini.
            “Saya.. ditugaskan kepala sekolah untuk mendampingi kalian,” jawab Pak Iqbal, bohong. Wulandari mengerti dan memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Beberapa menit kemudian, Bu Eni sudah bersama mereka. Wajahnya merah padam. Bukan karena tersipu akan kedatangan Pak Iqbal, melainkan karena apa yang baru saja ditemuinya di meja panitia barusan. Nama Wulandari tidak ada. Lebih tepatnya, diganti oleh Seruni Sastranegara mewakili nama SMA mereka. Bu Eni jelas geram. Kalau saja Pak Iqbal tidak menyusulnya ke meja panitia tadi, mungkin akan ada keributan yang tercipta saat ini.
            “Aku tidak habis pikir. Tidak habis pikir. Apa uang sebegitu berkuasanya? Sungguh, aku bisa gila!”
            Orang yang sangat tidak diharapkan kehadirannya pun muncul. Seruni datang menghampiri mereka, ditemani oleh Bapak Kepala Sekolah. Wulandari yang dalam hatinya sangat sedih, masih bisa menahan emosinya. Pak Iqbal yang selalu tenang, masih sama tenangnya dengan sebelumnya. Sedangnya Bu Eni yang tipe meledak-ledak, tidak sudi menahan egonya, dan tetap menunjukkan kekesalannya. Bahkan di depan murid dan atasannya sekali pun.
            “Selamat siang, Bu Eni. Saya lihat, suasana hati Anda sangat baik hari ini,” sapa Kepala Sekolah. Bu Eni terang-terangan memutar bola matanya sambil melipat kedua tangan di depan dada. “Wah, saya terkejut melihat ada Pak Iqbal di sini. Menjemput Bu Eni dan Wulandari, saya kira?”
            “Ah.. saya.. saya hanya mendampingi mereka berdua, Pak. Baru lima belas menit saya sampai di tempat ini,” jawab Pak Iqbal, tenang, walau sedikit gugup. Suasana sangat canggung. Seruni yang murah senyum—walau dalam hati Bu Eni yakin anak itu sedang menertawakannya—mengambil posisi di sebelah Wulandari yang balas tersenyum padanya. Mereka memang berteman. Sangat baik malah. Hanya ego yang membuat hubungan mereka renggang. Lebih tepatnya, ego milik Seruni yang menciptakan jarak di antara mereka, yang sama-sama ingin tampil membacakan puisi buatan mereka di depan para juri.
            “Saya ingin bertanya, Bapak Kepala Sekolah yang terhormat. Ada keperluan apa Anda dan Seruni datang ke tempat ini? Bukankah seharusnya Anda dan Seruni di Sekolah?” tanya Bu Eni, sekuat mungkin menahan nada marahnya demi menjaga kesopanan, namun tidak berhasil sama sekali. Pak Kepala Sekolah tersenyum, ia memegang pundak Seruni dan menepuk-nepuknya. Jelas sekali ingin membuat Bu Eni tambah jengkel.
            “Saya ke sini ingin mengantar Seruni, Bu Eni. Dia yang akan mewakili Sekolah kita dalam perlombaan ini. Justru saya yang heran melihat Bu Eni di sini, saya kira hasil rapat kemarin sudah jelas?” jawab Pak Kepala Sekolah.
            “Bukankah sudah jelas juga keputusan saya kemarin, Pak, mengenai siapa yang akan mewakili sekolah kita? Saya sudah bersedia menerima semua konsekuensi yang ditawarkan!” balas Bu Eni. “Bahkan saya sudah...” Bu Eni berhenti berbicara. Ia sadar tindakannya sudah keluar dari batas kesopanan. Ia pun menoleh ke arah Wulandari dan memegang pundaknya. Wulandari balas memegang tangan Bu Eni, dan mengangguk, mengisyaratkan bahwa ia baik-baik saja. Setetes air mata menyembul dari mata Bu Eni yang indah. Ia sangat tahu segala perjuangan yang dilakukan Wulandari demi mengikuti lomba ini. Tiba-tiba dari pengeras suara diberitahukan bahwa lomba akan dimulai sepuluh menit lagi. Diumumkan pula daftar nama peserta lomba yang harus bersiap-siap. Benar-benar tak ada nama Wulandari di sana. Bu Eni pun memutuskan untuk mengalah pada egonya.
            “Seruni, mau kah kamu bersedia berbagi peran dengan Wulandari? Maksudku, biarkan saja kamu yang ikut lomba membaca puisi, tapi tolong persilakan Wulan untuk menuliskan puisinya untukmu. Jadi kamu dan Wulan akan menjadi kolaborasi, aku sudah mengecek peraturannya dan hal itu dibolehkan. Kamu mau, kan?”
            Seruni tampak bimbang. Ia sadar sikapnya sudah sangat keterlaluan terhadap sahabat dan gurunya—yang jujur saja sangat dikaguminya—itu. Ia tahu puisi buatannya tidak akan mampu menandingi indahnya puisi milik Wulandari, tetapi ia ingin karyanya diakui. Namun apa pantas jika ia mempertahankan egonya, dan menghancurkan harapan sahabatnya? Sensasi lima puluh banding lima puluh menggerogotinya seperti penyakit menahun.
            “Aku tidak keberatan kalau tidak ikut lomba, Bu. Aku senang jika hanya Seruni yang ikut. Aku tahu sekali betapa indah puisi miliknya. Jadi, walau tidak membawakan puisiku, aku ikhlas,” ujar Wulandari, tulus. Matanya memang berkaca-kaca, namun bukan karena air mata kesedihan. Ia benar-benar menyayangi sahabatnya. Seruni memandangnya penuh arti. Sikap inilah yang membuat ia membuang kaca mata kesombongannya dan memutuskan untuk bersahabat dengan Wulandari sejak kemarin dulu. Jika bersamanya, ia merasa pulang.
            “Aku bersedia berkolaborasi, Bu.”
            Bu Eni tersenyum. Tanpa menunggu lama, ia langsung bergegas ke meja panitia untuk mengkonfirmasi perubahan formasi dari tim sekolahnya. Puisi yang telah Wulandari siapkan juga sudah dibawanya untuk diserahkan ke panitia. Pak Iqbal yang sudah menerka hal ini akan terjadi pun tersenyum puas. Ia paham Seruni bukanlah anak yang semena-mena. Walau sedikit angkuh, sejak berteman dengan Wulandari, ia berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Dan ia mensyukuri perubahan dari anak yang sebenarnya adalah keponakannya ini.
            “Sudah kuduga, anak kakakku tidak akan berbuat culas. Benar begitu, Pak Kepala Sekolah?” bisik Pak Iqbal.
            “Iya, aku sudah tahu. Itulah alasanku membawa Seruni ke sini. Selain untuk membuat Bu Eni kesal tentunya. Hahahaha...” Pak Iqbal dan Kepala Sekolah tertawa bersama-sama.
            “Waaah... aku lega sekali, kau tahu?”
            Kini Bu Eni dan Pak Iqbal tengah duduk berhadapan di kedai kopi dan teh langganan mereka. Suasana kali ini sangat bagus, Bu Eni tak henti-hentinya tersenyum sepanjang hari. Perlombaan puisi kemarin sangat berjasa mendatangkan kebahagiaan. Kolaborasi Wulandari-Seruni sukses besar. Puisi milik Wulandari yang indah, dibacakan oleh Seruni yang sangat pandai tampil di depan umum. Penampilan yang sempurna menjadikan mereka juara. Otomatis mereka berdua akan maju ke perlombaan selanjutnya di tingkat provinsi.
            “Kamu kelihatan bahagia sekali. Tapi aku tidak.”
            Bu Eni berhenti tersenyum. Tidak biasanya Pak Iqbal merajuk. Selama ini laki-laki itu selalu mendukung apa pun yang ia lakukan juga rasakan.
            “Apa yang membuatmu tidak bahagia?” tanya Bu Eni, cemas.
            “Kau mau tahu?” Pak Iqbal balas bertanya.
            “Katakanlah. Kau sangat lain hari ini.”
            “Hmm.. baiklah.. aku ragu kau masih mau meneruskan permintaanmu kepadaku kemarin dulu. Ingat, saat kau memintaku menikahimu? Aku sangsi kau tidak berminat melanjutkannya karena kau tidak jadi dikeluarkan dari sekolah. Aku jadi khawatir pada penantianku sendiri, huh,” jawab Pak Iqbal sambil membuang muka. Bu Eni pun tertawa. Sikap merajuk Pak Iqbal sungguh membuatnya gemas, seakan sedang kembali ke masa-masa SMA mereka.
            “Aku mau, kenapa pula harus menunda lagi? Aku sadar sikapku sangat tidak baik dengan selalu menghindari membicarakan masalah pernikahan. Padahal itu sudah seharusnya cepat-cepat dibahas, mengingat aku sudah resmi menerima lamaranmu dua bulan lalu. Maafkan aku, Mas Iqbal, hehehe...” balas Bu Eni. Pak Iqbal pun tersenyum. Sandiwaranya berhasil.
            “Hahahaha.. kau masuk perangkapku, En. Aku tahu satu-satunya cara untuk membuatmu menikahiku adalah dengan merajuk padamu. Aku jadi ragu pada umurku sekarang. Hahahaha...” ujar Pak Iqbal. Mata Bu Eni melebar. Pak Iqbal kadang sering berkelakuan seperti anak kecil. Pura-pura merajuk demi meraih hatinya. Namun kalau boleh jujur, hal itulah yang membuatnya mau berteman dengan Pak Iqbal sejak pertemuan pertama mereka di SMA. Ia sungguh yakin, harinya kelak bersama Pak Iqbal akan semakin berwarna.
            “Baiklah, kalau begitu kapan kita bisa menikah?” tanya Pak Iqbal.
            “Terserah padamu saja,” jawab Bu Eni. Keduanya pun tertawa. Kembali meninggalkan kenangan manis pada meja nomor tujuh, yang beberapa menit lalu menjadi saksi dari rencana pernikahan mereka. 
*Selesai*