“Lagi nulis apaan, Man?”
Saat itu, kelas sepuluh empat sangat ramai
karena tak ada guru. Di bangku paling depan, paling dekat dengan pintu, Manela
sedang asyik menulis sesuatu di bindernya, sampai tak menyadari namanya terus
saja dipanggil-panggil oleh Ariana yang berdiri di depan mejanya sambil
berkacak pinggang. Tak sabar, akhirnya Ariana pun nekat menarik binder Manela,
yang membuat gadis itu mendongak kesal.
“Apa-apaan, sih, Ri? Aku lagi nulis..” protes
Manela yang sama sekali tak digubris Ariana, yang sedang takjub membaca tulisan
di binder tersebut. Sebuah tulisan puisi berjudul “Rangka Sepuluh Empat” di
atasnya.
“Ini buat tugas nanti, Man? Well, gaya tulis puisimu unik, aku
suka,” kata Ariana, tersenyum. Manela yang dari dulu paling tidak tahan dengan
pujian pun ikut tersenyum, namun langsung menyambar bindernya lagi dengan
ganas.
Ariana duduk di sebelah Manela. Mempermainkan
jari-jari tangannya sebentar, lalu menoleh dan menatap bimbang temannya yang
sedang menulis. Berkali-kali ia katupkan bibirnya seperti memakan kembali
ucapan yang ingin diutarakan. Namun setelah mengambil napas dalam berkali-kali,
akhirnya ia menyerah dan memutuskan untuk menyimpan kembali niatnya.
“Kenapa enggak ngomong, Ri? Aku dengerin kok,”
ujar Manela tiba-tiba, membuat Ariana kaget karna gerak-geriknya ketahuan. Ia
menyapu pandangannya ke seantero kelas; tak ada yang memperhatikan dan berada
cukup dekat untuk menangkap percakapan mereka. Ia menelan ludah, dan menyeka
keringat di atas bibirnya.
“Man.. kamu kenal sama..” Ariana tak mampu
melanjutkan.
“Kak Putra? Iya, aku tahu dia. Kenapa?”
Sekali lagi Ariana dibuat kikuk oleh temannya
yang seperti dukun ini. Sebenarnya ia heran, darimana Manela tahu isi
pikirannya??
“Kok kamu tahu, sih? Err.. aku cuma mau tanya
saja.. hehehe..”
“Aku dengar dia akan diturunkan untuk
pertandingan futsal antar SMA minggu depan. Kamu bersiap saja, sebagai anggota
PMR, kamu pasti akan diminta untuk mengawal mereka. Tempatnya di GOR
Pajajaran,”
Ariana hanya mengedipkan matanya pilon. Kok Manela tahu yang mau aku tanyain, sih??
“Hmm.. oke aku tahu kamu kayak dukun, tapi
yang aku penasaran, apa itu semua bisa dipercaya? Maksudku kamu tahu darimana
aku mau tanya itu??” Ariana mulai frustrasi. Akhirnya Manela pun menutup
bindernya, dan mengubah posisi duduknya menghadap Ariana.
“Belum lama tadi, Kak Putra lewat depan kelas
kita, kan?” Ariana mengangguk. “Terus kamu ngeliatin dia, sampai dia belok ke
balik dinding itu, kan?” Ariana mengangguk lagi. “Dan lagi, setelah itu kamu
langsung nyamperin aku dan ganggu aku, kan?”
Seperti mainan yang diputar sekrupnya
berkali-kali, Ariana kembali mengangguk.
“Terus kamu masih bingung darimana aku tahu
isi pikiranmu?”
Kali ini Ariana menggeleng.
“Hmm.. memangnya aku sekikuk itu, ya?” tanya
Ariana.
Manela hanya menghela napas dan tersenyum
singkat. Sebenarnya bukan maksudnya untuk bersikap tak peduli seperti itu, ia
hanya sedang tidak dalam mood yang
sesuai.
Bel tanda berakhirnya istirahat pun berbunyi.
Murid-murid yang tadinya menyebar di seantero kelas pun kembali ke tempat
duduknya masing-masing. Mengakhiri segala aktivitas mereka, termasuk percakapan
antara Ariana dan Manela yang masih membuat merah wajah putih nan cantik Ariana.
Selang beberapa menit kemudian, guru Fisika pun datang...
***
“Oke, yang akan ikut minggu depan itu.. Sinta,
Adin, Fika, Faishal, dan Ariana.”
Begitu namanya disebut, Ariana langsung
menelan ludah. Benar “ramalan” Manela. Ia akan ikut menjadi tim medis pada
pertandingan futsal yang akan diikuti Kak Putra minggu depan. Sebenarnya ia
grogi setengah mati, namun selain di depan Manela, ia adalah orang yang sangat
pandai menyimpan perasaan. Jadinya tak ada satu pun di ruangan itu yang
merasakan tak beraturannya detak jantungnya.
“Saya harap kalian bekerja dengan maksimal.
Walau pun tak banyak anggota yang turun, saya percaya kalian adalah tim
terbaik, yang pastinya bisa menangani situasi apa pun. Apa kalian mengerti?”
Rapat berakhir pada pukul setengah empat sore.
Alih-alih pulang, Ariana langsung ke masjid untuk shalat ashar. Masjid sangat
sepi. Saat ia duduk di beranda untuk membuka sepatunya, tiba-tiba terdengarlah
suara celotehan yang sangat dikenalnya. Mendadak jantungnya seperti ingin
melompat. Jangankan melihat wajah, mendengar suaranya saja sudah membuatnya
berdebar-debar.
“Hahaha, tenang aja, gue gak akan melewatkan
kesempatan emas untuk nyetak gol di gawang BBS minggu depan,” ujar Kak Putra
penuh percaya diri. Dua orang teman yang jalan bersamanya pun spontan langsung
merangkulnya brotherly. Selain
ganteng dan rajin shalat, Kak Putra memang terkenal dengan sifat supelnya.
Tiga sekawan itu duduk di beranda juga, tak
jauh dari tempat Ariana yang hanya dihalangi hijab. Mereka bertiga nampaknya
tidak menyadari kehadiran gadis itu.
“Put, lo banyak kenalan anak kelas satu, kan?”
tanya Kak Riko, cowok hitam manis yang belakangan Ariana tahu sebagai kecengannya Manela.
“Hmmm enggak banyak juga sih, memang kenapa?”
“Kalau dilihat dari gelagatnya, gue yakin si
Riko ini lagi naksir cewek, iya kan?” tembak Kak Fadly, teman yang satu lagi.
Ariana yang mendengarnya juga ikutan deg-degan. Ia pun pura-pura membaca
catatannya agar bisa mendengar percakapan mereka lebih lama.
“Eh, Apaan sih? Bukan itu maksud gue..”
“Anak kelas satu yang gue tau itu cuma.. Heru,
Hamzah, Jodi, Diko, Andra, dan lain-lain deh, di antara mereka ada yang lo
maksud ga?” ujar Kak Putra. Namun Kak Fadly tiba-tiba menepuk bahunya sambil
berdecak sok tahu. Membuat Kak Riko makin salah tingkah.
“Bukan cowok, Put. BUKAN cowok. Emang lo kira
temen kita si Riko ini bakal malu-malu kucing hanya untuk nanyain tentang cowok
ke lo? Gue sanksi sama kejantanannya kalo begitu,” timpal Kak Fadly. “Tapi nih,
Ko. Setau gue, cewek yang lagi eksis itu ya si Nisa, Feby, Anggi, sama Elli..
Eh jangan Elli deh, nanti Putra marah lagi, hehehe.”
“Elli? Putra lo naksir Elli?!” seru Kak Riko,
heboh.
“Apa-apaan sih lo, Fad. Jangan bikin gosip
macem-macem deh,” elak Kak Putra, namun dengan wajahnya yang memerah.
“Ga usah muna gitu, Put. Bukannya kemarin lo sendiri
yang nanyain tentang Elli ke gue? Udah dikasih info bagus malah ngelak, ckck,
ga asik ah,” goda Kak Fadly.”Eh.. tapi cewek yang lo mau tanyain itu bukan Elli
juga kan, Ko?”
“Bukan dia.. ada.. tapi dia ga terlalu eksis..
gue sering liat dia di perpus.. dan belakangan gue tahu dia ikut eskul
karate..”
“Karate? Hmm.. tunggu.. anak
kelas satu putri yang ikut karate cuma.. aahh.. Hani sama Manela, nah yang
mana?”
“Manela deh kalo ga salah
namanya, hehehe,”
Manela? Kak Riko suka sama Manela!
“Manela?
Yang sering bareng sama Ariana itu ya?” timpal Kak Putra. Dalam hati Ariana
berteriak kegirangan. Kak Putra inget
gue!
“Lo
apal banget nama sih, Put? Sampe Ariana aja lo inget. Atau jangan-jangan enggak
cuma Elli nih..” pancing Kak Fadly lagi, yang langsung mendapat jotosan keras
Kak Putra di lengannya.
“Ga
usah mancing deh, Elli aja belum beres, lo malah ngeledekin gue sama Ariana.
Udah deh, kesorean nih asharnya. Lo sih pada ngobrolin cewek mulu,” Kak Putra
pun bangun dan menarik lengan kedua temannya agar bangun juga. Setelah mereka
masuk Masjid, Ariana kembali merenung. Dadanya terasa sesak.
Elli.. Kak Putra suka sama Elli.. Bukan
aku..
***
Ariana sampai di
rumah pada pukul lima sore. Percakapan yang tadi didengarnya di masjid masih
memenuhi pikirannya. Ia senang bahwa Kak Riko ternyata juga menyukai Manela,
namun di sisi lain, ia menyesal telah mendengar pembicaraan itu..
Kak Putra suka sama Elli..
Ariana memang tak
berharap banyak bahwa perasaannya bisa terbalas. Namun tetap saja, sakit..
“Ri, ada telepon
dari Nela!” suara ibunya bergaung dari lantai dasar. Ia pun terpaksa
membuyarkan lamunannya dan langsung turun.
“Halo, Nela. Ada
apa?”
“Bagaimana hasil
rapat tadi? Bener kan apa yang aku bilang?”
“Iya bener kok..”
“Ada apa
denganmu? Kok enggak bersemangat begitu?”
Hening sejenak,
dipotong oleh hembusan napas panjang Ariana.
“Just tell me!”
“Iya, aku emang
ditugaskan jadi tim medis minggu depan.”
“Woaaa.. selamat
yaaa!”
“well, yeah. Makasih, Nel.. oh, iya,
Nel.. tadi aku...”
“Apa?”
Sebenarnya ia
ingin langsung menceritakan tentang apa yang ia dengar di masjid tadi. Tentang
perasaan Kak Riko pada Manela, juga hal
lainnya. Namun tiba-tiba gairahnya meluap. Mungkin lebih baik besok saja
menceritakannya.
“Nevermind. Nel, aku tutup dulu, ya? Mau
mandi nih, gerah banget baru pulang, hehe.”
“Oh Ya sudah, Ri.
Ku tutup yaa..”
Hening. Galau.
Untuk beberapa saat ia tidak bergeming dari tempat. Entah sampai kapan ia bisa
menyembunyikan hal ini dari Manela. Memang ada hak bagi Manela untuk tahu
tentang perasaan Kak Riko. Namun jika ia menceritakannya, dadanya akan terasa
sakit.. karena mau tak mau ia harus teringat lagi pada kenyataan bahwa Kak
Putra menyukai Elli..
***
Satu minggu
kemudian, tim futsal SMA N 5 Bogor beserta tim medisnya, sudah berkumpul di
gedung KONI untuk briefing. Yang akan turun menjadi tim utama futsal adalah Kak
Riko, Diko, Kak Fadly, Andra, dan Kak Putra sebagai kapten. Berkat informasi
yang ia dengar minggu lalu, ia bisa mengendalikan perasaannya sepenuhnya. Tidak
memandangnya lagi dengan penuh harapan. Seperti dulu.
“Untuk pemain
cadangan, saya harap kalian selalu siap, karena ada kemungkinan akan banyak
dilakukan pergantian pemain, dilihat dari lawan kita yang selama ini selalu
menjadi lawan terkuat kita. SMU BBS. Posisi kalian dengan pemain utama tidak
dibedakan sama sekali. Dan untuk tim medis, terima kasih karena sudah bekerja
sama dengan kami. Kalian nanti akan dipasang di tempat yang ditentukan panitia.
Oke, guys, selamat bertanding!”
Tim pun bubar
menuju lapangan indoor. Sebenarnya
sejak tadi, Ariana sudah merasa bahwa ia sedang diperhatikan. Entah oleh siapa
ia tak peduli. Ia hanya ingin fokus pada pekerjaannya. Lagipula mood-nya sudah buruk ketika melihat Elli
yang tengah duduk manis di tribun penonton. Sebenarnya ada Manela juga di sana,
diselang beberapa orang dari tempat Elli duduk, namun tetap saja tak merubah
apa pun. Ia hanya melambai sekadarnya pada Manela, lalu kembali meneruskan
jalannya ke tempat tim medis.
Pertandingan
antara tim futsal Smanli dan BBS pun dimulai. Yang melakukan kickoff adalah Kak Putra dan Kak Riko.
Serempak sorakan-sorakan membahana di seluruh aula. Pada menit-menit pertama,
bola masih dikuasai oleh Smanli. Kak Putra sangat lihai membawa bola, begitu
juga Kak Riko. Kekuatan Smanli sedang di posisi prima. Pada menit ketiga, satu
gol sudah dicetak bagi Smanli oleh Kak Putra.
“Sabar.. sabar..
tenang.. calm.. calm..” gumam Ariana
sambil mengelus-elus dadanya ketika para suporter meledak riuh saat gol pertama
diciptakan. Sebenarnya ia sedang mempertahankan dirinya agar tidak terbawa
suasana. Karena kalau boleh jujur, Kak
Putra keren banget!
Tiba-tiba, Blackberry-nya berdenting. Ada BBM dari
Manela.
*Ri, kenapa
elus-elus dada?*
Sedang mengetik
pesan..
*Gak papa, kok.*
(jeda
beberapa saat)
*Ri, Kak Putra gol
lagi tuuh!*
(Ariana
mencari sosok Manela di tribun. Ternyata gadis itu sedang melihat ke arahnya
juga sambil tertawa.)
*aku gak
terpengaruh lagi, kok, sama dia. Mau ngegolin kek, terserah. Itu bukan
urusanku.*
(Ariana
pun langsung mematikan Blackberry-nya.)
Huh. Si Manela itu memang
biangnya usil. Untuk menunjukkan kekesalannya, ia pun menjulurkan lidahnya ke
arah Manela, yang ternyata kelakuannya itu disaksikan oleh Faishal, rekan
sesama PMR-nya.
“Hmm, Ri. Lo lagi ngeledekin
siapa?” tanya Faishal, polos. Spontan Ariana pun menoleh dan menyunggingkan
senyuman terpaksa. Ia malu setengah mati tingkah bodohnya ketahuan orang.
“Ha ha ha.. bukan siapa-siapa,
kok,” balasnya cepat. “Oya, Shal. Obat-obatan sudah kamu bawa semua, kan?”
**
Pertandingan akhirnya dimenangkan oleh
Smanli, yang otomatis menjadi juara liga pada tahun ini. Para suporter sudah
berkumpul di luar aula untuk menunggu pahlawan mereka. Ketika para pemain
datang, mereka langsung dikerubungi. Ariana dan Manela yang tidak ikut dalam
rombongan itu pun hanya memperhatikan dari depan pintu gedung KONI.
“Kamu gak mau kasih selamat, Ri?
Kak Putra jadi bintangnya loh hari ini!” seru Manela. Mendengarnya Ariana
langsung buang muka, dan tertangkap olehnya sosok Elli di tengah-tengah
kerumunan itu. Dekat Kak Putra. Tepatnya, di sebelahnya.
Mereka
sepertinya sedang membicarakan sesuatu. Senyuman tak pernah lepas dari wajah
keduanya. Beberapa saat kemudian, Kak Putra pun membisikkan sesuatu di telinga
Kak Fadly, yang langsung mengerling penuh arti ke Elli, dan mengangguk sambil
menepuk bahu Kak Putra. Lalu Kak Putra dan Elli pun keluar dari kerumunan dan
pergi menuju belakang GOR. Ariana menghela napas, dan langsung mengalihkan
pandangannya pada Manela.
“Man, kamu mau pulang kapan?”
tanya Ariana. Suaranya bergetar. Manela yang nyatanya sedang asyik
memperhatikan Kak Riko, nampaknya tidak menyadari getaran dalam suara Ariana.
Ia pun hanya menjawab seadanya bahwa ia akan pulang ketika semuanya sudah
bubar.
Ariana agak jengkel pada
ketidakpedulian sahabatnya ini. Namun sebelum ia protes, tiba-tiba Kak Zaldy,
seniornya di PMR, menghampiri mereka. Ariana yang memang dekat dengannya pun
menyambutnya dengan hangat.
“Kalian kok belum pulang? Nungguin
siapa?” tanya Kak Zaldy. Ia mengambil duduk di sebelah Ariana, lalu
mengeluarkan sesuatu dari ranselnya.
“Ini sertifikat lomba yang kamu
menangi bulan lalu, Ri. Maaf ya saya telat nyampeinnya?” kata Kak Za. Ariana
menerima sertifikat itu dengan perasaan campur aduk—antara senang dan bimbang.
“Makasih banyak, Kak. Gak
apa-apa kok telat juga. Aku juga sudah lupa malah pernah ikut lomba, hehe,”
balas Ariana.
“Kamu kok di sini aja sih? Gak gabung
sama mereka?” Kak Zaldy menunjuk kerumunan dengan dagunya.
“Enggak ah, Kak. Kami lebih suka
di sini. Habis di sana rame sih.”
“Hmm.. iya, Ariana, apa kamu
punya waktu?”
“Iya, Kak. Ada. Memangnya ada
apa?”
“Bisa kamu ikut saya sebentar?”
“Bisa..” jawab Ariana. Ia pun
pamit pada Manela, dan berjanji akan kembali tak lama lagi. Kak Zaldy
mengajaknya ke belakang GOR. Sebenarnya Ariana sudah was-was saat Kak Zaldy
membawanya ke sana, karena seperti yang sedang terlihat, ada Kak Putra dan Elli
juga.
“Eh, Putra. Selamat ya, tadi
kamu mainnya hebat sekali!” seru Kak Zaldy pada Kak Putra. Kak Putra tak
langsung membalas ucapan, melainkan tertegun melihat Ariana ada di sana juga,
dan melirik kikuk ke arah Elli.
“Ah.. i..iya terima kasih
banyak, Kak. Saya hanya berusaha memberikan yang terbaik,” jawab Kak Putra
akhirnya, sambil curi-curi pandang pada Ariana. Setelah berbasa-basi sedikit,
Kak Zaldy pun pamit kepada mereka berdua, dan membawa Ariana lagi ke tempat
yang lebih nyaman untuk berbiacara. Saat mereka pergi, Kak Putra masih
memandangi Ariana. Di tatapannya ada campuran antara rasa cemas dan kecewa.
Saat bayangan mereka sudah menghilang, barulah ia mengalihkan perhatiannya lagi
pada Elli, dan mengajaknya pergi juga menuju tempat tim berkumpul.
***
“Apa yang mau diomongin, Kak?”
tanya Ariana. Kini ia dan Kak Zaldy sedang berada di depan mushola. Di sana
hanya ada mereka berdua. Setelah bimbang sesaat, akhirnya Kak Zaldy pun angkat
bicara.
“Saya tahu perasaan kamu pada
Putra.”
Ariana menelan ludah. Apa-apaan dengan kalimat pembuka ini?
“Kenapa.. Kakak bisa berpikiran
seperti itu?”
Kak Zaldy menatap Ariana.
Sejenak hening di antara mereka berdua.
“Seperti yang kamu lihat tadi,
Putra sudah bersama Elli..” katanya. “Mungkin kamu menyukainya karena ia tampan
dan jago olahraga. Namun saya tak menemukan alasan bagimu untuk terus
menyukainya.”
Ariana makin tidak mengerti
maksud Kak Zaldy mengatakan hal itu. Ia pun menghela napas untuk menemukan
suaranya kembali. “Aku enggak ngerti apa yang Kakak omongin. Memangnya darimana
Kakak tahu perasaanku? Dan kenapa pula aku enggak punya alasan untuk
menyukainya lagi?”
“Ternyata benar. Kamu memang menyukai
Putra,” tembak Kak Zaldy lagi. Ada sebersit kekecewaan di matanya, yang tidak bisa
dipahami Ariana karena serba ketidakjelasan ini. “Untuk alasan, seperti yang
kamu lihat tadi, Putra sudah memilih Elli!”
Ariana mulai jengkel. Tak perlu
dibacakan seperti itu juga dia sudah tahu!
“Lalu apa urusannya dengan
Kakak? Perasaan ini milikku, dan akulah yang berhak memutuskan untuk tetap
menyukainya atau tidak!” seru Ariana. “Dan justru, menurutku Kakaklah yang
tidak memiliki alasan untuk berbicara seperti itu denganku!”
Ariana benar-benar marah.
Daritadi hatinya sudah kesal, ditambah lagi dengan topik yang sensitif ini, ia
merasa kemarahannya dapat datang kembali dengan mudah. Ia pun memutuskan untuk
pergi saja dari tempat itu, yang langsung dihentikan Kak Zaldy dengan
mengcengkram pergelangan tangannya.
“Apa-apaan, sih, Kak? Lepasin!” teriak Ariana sambil berusaha
membebaskan tangannya. Namun Kak Zaldy malah menguatkan cengkramannya. Keduanya
sama-sama dipenuhi amarah.
“Enggak
ada alasan? Kamu bodoh! Memangnya kamu tidak menyadarinya selama ini? Kamu kira
apa lagi alasan saya memperhatikanmu selama ini? Apa kamu menganggap itu hanya
perhatian dari senior kepada junior? Apa kamu pernah melihat saya memberikan
perlakuan yang sama denganmu pada anggota lainnya? Ya, kamu mungkin sudah mulai
menangkap maksudku, itu semua karena aku
menyukaimu!”
Ariana kaget. Bukan karena ucapan Kak Zaldy,
melainkan karena melihat sosok yang sedang menjadi topik utama di koridor, tak
jauh dari tempatnya dan Kak Zaldy berdiri.
Orang
itu adalah Kak Putra. Awalnya ia memang diam saja sehabis mendengarkan pernyataan
langsung Kak Zaldy barusan, namun setelah menghela napas dan suasana yang mulai
mencair, barulah ia menghampiri Ariana.
“Kak
Zaldy, Ariana, maaf ganggu pembicaraan kalian. Tapi sebentar lagi akan ada
evaluasi tim, dan pelatih meminta saya untuk menjemput Ariana. Apa bisa saya
bawa Ariana saat ini?”
Kak
Zaldy pun menghembuskan napas keras, lalu pergi begitu saja tanpa mengatakan
apa pun, meninggalkan Ariana dan Kak Putra berdua saja.
“Maaf,
ya. Saya ganggu obrolan kalian?” ucap Kak Putra. Jujur saja ia merasa bersalah.
Namun Ariana hanya tersenyum manis.
“Enggak
apa-apa, Kak. Yuk kita pergi.”
Di
perjalanan menuju kantin, mereka saling diam. Tak berani menyuarakan apa pun.
Terlalu bingung pada apa yang baru saja diketahui. Merasa sesak pada keheningan,
akhirnya Kak Putra pun membuka percakapan.
“Terima
kasih, ya, Ariana.”
Ariana
menoleh. Jalan mereka terhenti.
“Terima
kasih? Untuk apa?”
Karena menyukai saya, batin Kak Putra.
“Karena
perhatian dan bantuanmu selama ini. Sangat berguna, terima kasih,” ujar Kak
Putra lagi, tersenyum. Ariana langsung menunduk memandangi sepatunya. Ia
terlalu malu dan bingung. Hatinya kembali berkecamuk. Ia kembali bimbang.
Tekadnya untuk melupakan perasaannya nampaknya sudah berlari lagi. Terlalu jauh
untuk dikejar..
“Sudah
tugas saya untuk melakukannya, Kak. Jadi Kakak tidak perlu berterima kasih..”
jawabnya. Suasana menjadi semakin canggung. Kak Putra juga sudah tak berani
lagi memandang apalagi mengatakan apa pun pada Ariana. Niat sebenarnya hanyalah
ingin berterima kasih, pada perasaan Ariana, yang tidak pernah bisa ia ucapkan
karena takut membuat gadis itu berlari lagi..
“Oh,
iya, selamat ya atas kemenangan Kakak hari ini. Kakak pasti sangat senang, kan,
kukira?”
“Iya,
sangat senang. Sekali lagi terima kasih, Ariana,” ucapnya, sambil tersenyum,
dan tertegun karena kesadaran baru yang mendadak muncul.
*Bersambung*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar