Udara terasa dingin. Kulit teraba panas. Jalanan
mendadak bergelombang. Langit-langit seakan bimbang untuk runtuh atau bertahan.
Kedua tangan juga berpeluh, membuat licin menyebabkan terjatuhnya buku tulis
bersampul coklat yang hanya mengeluarkan suara debam ringan, bergaung di
dinding-dinding koridor. Aisha merasakan kepalanya tiba-tiba pusing. Perutnya
mual, dan matanya berkunang-kunang. Serangan ini terjadi begitu saja, padahal
sebelumnya ia masih merasa sehat. Untuk menghilangkan nyeri kepalanya, ia pun
duduk di bangku panjang tak jauh dari tempatnya berdiri.
Tersisa beberapa menit lagi sampai bel masuk jam
pertama dibunyikan. Aisha memilih untuk melawan sakitnya dan berjalan kembali
ke kelas. Di sana, keadaan mulai kondusif, tak seramai saat ia baru datang
tadi. Kedatangannya disambut dengan kerutan dahi oleh Alika.
“Sha, kamu sakit, ya? Wajahmu pucat..” cemas Alika.
Ia menempelkan telapak tangannya pada dahi Aisha, dan memekik pelan merasakan
panasnya. “Kamu demam!”
“Aku enggak apa-apa, Lika. Hanya pusing sedikit.
Minum air juga sembuh,” terang Aisha, ia tidak ingin membuat Alika khawatir.
Kepalanya memang masih pusing, namun tak sesakit tadi. “Oh, iya.. buku PR-ku
akhirnya ketemu loh! Hehe.”
“Kamu ini, masih saja bisa tertawa.. yakin enggak
mau ke UKS? Kuantar.. mumpung belum mulai pelajaran, gimana?” desak Alika.
Namun Aisha hanya menggeleng sambil tersenyum. Untuk memberi tanda kalau
pembicaraan lebih baik tak diteruskan, Aisha membuka buku PR-nya. Tugasnya
sudah selesai dikerjakan, hanya tinggal dikumpul saja.
“Ya sudah kalau begitu. Oh, iya, Sha, coba kulihat
tugasmu, ingin kusamakan, hehehehe..” kata Alika. Aisha menyerahkan bukunya.
Saat dibuka-buka, Alika tertegun melihat kertas kecil yang terselip di halaman
paling tengah. Sebuah surat, yang nampaknya ditulis buru-buru.”Sha, kayaknya
ada yang menyelipkan pesan di bukumu.”
“Apa? Mana?”
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Aisha,
apa kabar? Kuharap baik-baik saja. Tadi pagi saat main ke sekretariat, aku
enggak sengaja menemukan bukumu. Tujuanku menulis surat ini adalah ingin
memohon maaf padamu, Sha, karena aku telah menyalin tugasmu tanpa seizinmu.
Kuharap kamu tidak marah pada kelancanganku.
Tresna
Adi
“Tresna kelas kita, Sha?” tanya Alika. Aisha pun
mengangguk, sambil menoleh ke bangku paling depan sebelah kiri, tempat Tresna
duduk. Kebetulan saat itu Tresna sedang memandang ke arahnya juga. Buru-buru
Aisha mengangkat surat tadi, dan tersenyum padanya. Disenyumi oleh Aisha,
membuat Tresna spontan ikut tersenyum juga sambil mengangguk kikuk.
“Aku baru sadar kalau Tresna itu suka sama kamu,
Sha. Ya ampun..” celetuk Alika, yang langsung mendapat cubitan pelan dari
Aisha. Mereka berdua pun tertawa bersama, sambil kemudian bercengkrama sampai
guru Kimia yang sedari tadi ditunggu-tunggu datang..
***
“Apa? Jadi bintang tamu? Kenapa.. aku?”
Aisha baru saja diminta oleh Erna, panitia Seminar
Jurnalistik, untuk menjadi bintang tamu di acara tersebut. Ditembak seperti itu
tentu saja Aisha terkejut. Apalagi ia tak pernah menjadi bintang tamu atau
pembicara di acara mana pun. Awalnya ia ingin langsung menolak tawaran itu,
namun ia urungkan. Kesempatan tak datang dua kali.
“Jadi, apa yang harus kubicarakan saat acara nanti?
Kalau soal pemberian materi, nampaknya aku tak pantas untuk menyampaikannya..”
ujar Aisha. “Lagipula aku ini masih penulis baru.. memangnya kalian, panitia,
yakin untuk mengundangku menjadi pembicara?”
“Insya Allah, kami yakin kamu sesuai, Sha. Tema
acara ini kan ‘Anak Muda, Pena, dan Jendela Dunia’, jadi sangat cocok dengan
riwayatmu yang menjadi penulis di usia muda. Untuk pemberian materi, kami sudah
mengundang Mas Rangga Setiadi, Reporter salah satu stasiun TV swasta. Jadi yang
perlu kamu lakukan hanya membagi cerita mengenai perjalananmu sampai bisa
menjadi penulis sukses seperti sekarang ini, sehingga bisa menjadi inspirasi
bagi seluruh murid, Sha. Aku tahu sekali, kamu potensial!” bujuk Erna, tak lupa
mengeluarkan jurus rayuan mautnya. Kalau boleh jujur Aisha agak sedikit ge-er mendengar sanjungan Erna barusan,
namun buru-buru ia menepisnya, dan kembali ke pembicaraan.
“Kalau begitu, Insya Allah aku bisa, Na.. mohon
bimbingannya, hehehehe..”
Erna tersenyum puas. Setelah terjadi kesepakatan,
Erna pun pamit dan meninggalkan Aisha sendiri. Menjadi pembicara di suatu seminar... jujur saja Aisha memang selalu
memimpikannya. Setelah sosok Erna sudah menghilang di balik dinding koridor,
Aisha pun balik badan dan meneruskan perjalanannya menuju masjid.
***
“Aisha akan jadi pembicara saat seminar jurnalistik
nanti.. kamu tahu?”
Arul dan Fauzan, sedang asyik menonton acara
televisi kesayangan mereka di kamar sang adik. Saat Arul mengatakan perihal
Aisha, perhatian Fauzan pada televisi sepenuhnya teralih.
“kamu serius? Kapan acaranya?” tanya Fauzan.
Alih-alih menjawab pertanyaan adiknya, Arul hanya
menyerahkan selembar pamflet. Promosi seminar jurnalistik.
“Minggu depan.. wah.. aku bisa datang enggak, ya,
kira-kira?” gumam Fauzan sambil terus memandangi kertas itu lekat-lekat.
Jangankan datang ke sekolah untuk seminar.. berjalan saja ia
sulit..
“Kalau kamu mau, biar kubantu. Kebetulan mobil ayah
tidak digunakan untuk minggu depan, jadi aku bisa memakainya. Kamu ikut
denganku..” ujar Arul, yang spontan membuat mata Fauzan melebar. “Kenapa kamu
melotot begitu?”
“Kamu.. bisa nyetir mobil? Punya SIM???!!!”
“tepat sehari setelah ulang tahun kita yang ketujuh
belas beberapa minggu lalu, aku sudah buat SIM A.. Karena kalau menunda-nunda,
aku takut tak kebagian waktunya.. kamu tahu sendiri sebentar lagi aku akan
menghadapi Ujian Nasional..” jelas Arul panjang-lebar. Bibir kiri atas Fauzan
naik dan berkedut. Tanda ia sedang keki setengah mati.
“Jadi.. kamu belajar nyetir mobil gak ngajak-ngajak
aku, hah? Ya Allah.. aku iri.. sumpah aku iri...”
Arul hanya tersenyum menghadapi rajukan adik
kembarnya. Sejak kedua orang tuanya sering keluar kota untuk urusan bisnis,
Arul otomatis berperan menjadi semacam “orang tua” bagi Fauzan. Sebenarnya Ayah
dan Ibunya berat meninggalkan mereka berdua, terlebih dengan keadaan Fauzan yang
masih belum pulih. Namun Arul bersikeras mempersilakan orang tuanya pergi
karena tidak ingin mengganggu bisnis keluarga. Untuk urusan rumah tangga sudah
ada pelaksana yang mengerjakan, jadi yang Arul butuh lakukan hanyalah menjaga
Fauzan saja.
“Makanya cepat sembuh.. kalau kamu sudah bisa jalan
lagi, Insya Allah akan kuajak kau belajar mobil..”
***
Waktu seminggu cepat sekali berlalu. Sejak dirinya diminta menjadi pembicara pada seminar jurnalistik, jantungnya tiada hentinya berdetak penuh gairah. Di kepalanya selalu terngiang kata-kata yang akan diucapkannya di acara penting itu nanti. Apa yang akan dilakukannya. Juga apa yang akan ditemuinya kelak. Ini sungguh kesempatan emas..
Kini ia masih berada di kendaraan umum menuju seminarnya di sekolah. Jalanan padat merayap. Suasana pagi di jalan raya yang biasa, tak pernah sekali pun menyurutkan semangatnya. Sengaja ia berangkat 2 jam lebih awal dari jadwal. Ia tidak ingin datang terlambat, yang akhirnya akan merugikan semua pihak. Lagipula dadanya membutuhkan adaptasi. Ia butuh menghirup lebih banyak udara demi kelancaran penampilannya nanti. Namun saat Aisha, yang selalu memilih tempat duduk paling dalam dekat jendela, menoleh ke sebelah kanannya, pemandangan mengejutkan pun tersaji..
Kak Arul..
Terlihat olehnya, sosok Muhammad Fachrullah yang sedang mengemudi mobil, bersama seseorang di sampingnya yang...
"Kak Arul.. punya saudara kembar...?" Aisha tak sengaja menyuarakan hatinya. Jujur, melihat satu Muhammad Fachrullah saja sudah mampu membuat jantungnya serasa berlari.. dan kini ia malah melihat.. dua? sebenarnya dia siapa?
Mata Aisha bersambut dengan kedua mata dari mobil di belakang angkutan umum yang sedang dinaikinya itu. Tatapan keduanya sama persis. Sama-sama membuat Aisha sulit bernapas dengan benar. Senyum sopan pun merekah dari bibir kedua anak kembar itu, yang hanya dibalas anggukan sopan oleh Aisha yang sebenarnya sedang mati kutu...
Lima belas menit kemudian Aisha sudah sampai di sekolahnya. Tepat seperti dugaan, sekolahnya ramai sekali. Di atas gerbang, terpampang spanduk informasi seputar seminar jurnalistik, yang sungguh membuat Aisha agak malu dan terharu, karena terpajang pula foto dirinya yang diketahui sebagai pembicara, berdampingan dengan foto Mas Rangga Setiadi. Secara naluriah ia pun menutupi wajahnya dengan tangan untuk menyembunyikan rona merah pipinya, dan berjalan sewajar mungkin memasuki sekolah tanpa ingin menjadi pusat perhatian. Tiba-tiba jalannya pun terhenti karena namanya dipanggil oleh seseorang dari belakang...
"Aisha.."
Aisha menoleh. Dan jantungnya...
"i..iya? ada apa..?"
Muhammad Fachrullah dan kembarannya, kini berdiri persis di depan Aisha. Keduanya begitu mirip. Tinggi dan postur tubuhnya juga sama. Namun yang membedakan keduanya, hanyalah gaya rambutnya. Muhammad Fachrullah yang Aisha kenal memiliki rambut pendek yang dipotong rapi, sangat terkesan intelektual. Sedangkan yang di sebelahnya.. rambutnya pendek juga, namun agak ikal.. memberikan kesan lebih muda dan bersemangat.. selalu tersenyum lebar saat memandang Aisha.. berbeda dengan Muhammad Fachrullah yang hanya tersenyum sopan dan dingin jika bertemu dengan Aisha..
"Assalamu'alaikum, Aisha.. masih ingat denganku? aku Fauzan.."
Aisha tertegun. Ternyata suara yang menghentikan langkahnya tadi adalah milik kembaran Kak Arul, bukan dia..
"Wa'alaikumsalam.. Fauzan.. saudara kembarnya Kak Arul.. ya?" jawab Aisha, masih tertegun. Menyadari Aisha telah menyebut namanya, senyum Fauzan pun makin merekah. Membuat resah pemilik jantung yang tengah berdiri di sebelahnya...
"Iya, aku adik kembarnya Arul. Sebenarnya aku siswa sekolah ini juga, namun karena sesuatu hal, aku terpaksa meliburkan diri.." jelas Fauzan sambil menyodorkan sedikit tangan dan kaki kanannya yang masih dibebat dan ditopang tongkat. "Dan kebetulan menyenangkannya lagi, aku sekelas denganmu, Aisha."
"Jadi kamu yang namanya Muhammad Fauzan.. pantas saja tidak pernah masuk sekolah, lukamu parah sekali.. apa sakit?" tanya Aisha polos, yang membuat senyuman Fauzan makin merekah. Aisha tahu pertanyaannya tadi sungguh kekanak-kanakan, namun ia berani bersumpah telah melihat senyuman tipis di bibir Kak Arul.. tipis dan.. sungguh manis.. namun terkesan getir?
"Baiklah kalau begitu saya undur diri karena sudah ditunggu panitia.. selamat menikmati acara, Fauzan dan.. Kak Arul.." ujar Aisha, agak lirih. Ia pun mengucapkan salam dan berbalik meninggalkan Fauzan yang masih tersenyum malu-malu, juga Arul yang jujur saja dalam pikirannya tengah terjadi peperangan antara cinta dan akal sehatnya...
"Semoga penampilanmu lancar.." batin Arul.
Sukaaaaaaaaaaaaaa.. lanmjutkan kawan ^_____^
BalasHapuskutunggu novelnya yah :)
amiiiinn.... makasiiih soulmate nomor 2 :3 *nomor 1 nya si rekan "Duo ADP" ahahahaha :D
BalasHapusselamat menikmati ya.. mohon doa restu xD