"Terima kasih banyak, Nak Ica, sudah temani ibu dan Zahra semalam," ujar Ibu Zahra. Mendengarnya, Aisha hanya tersenyum manis, sambil menuang telur orak-ariknya ke tiga piring yang tersedia. Zahra yang berdiri di sampingnya pun ikut tersenyum.
"Kalau boleh jujur ya, bu, Zahra kepingin banget supaya Kak Ica jadi istrinya Kak Agus. Habisnya Kak Ica cantik, sholehah, dan baik sih. Hehehehehe.." celetuk Zahra, yang langsung mendapat cubitan pelan dari Aisha yang wajahnya memerah. Ibunda Zahra pun hanya tersenyum melihat kepolosan anak bungsunya itu. Sebenarnya dalam hati, ia juga mengharapkan Aisha untuk menjadi menantunya. Walau selama ini keluarganya dan keluarga Aisha sudah menjalin hubungan yang sangat baik, ia tidak ingin memaksakan kehendak. Biarlah anak-anak itu sendiri yang memilih jalannya.
"Ibu sih setuju-setuju saja, Zahra. Tapi, apa mau Kak Ica mu itu dinikahkan dengan Kak Agus? kalau mau, ya tinggal tunggu lulus saja, toh? Kak Agusnya juga sudah mau dijodohkan sama Ica, hehehe.." timpal Ibu Zahra. Mendengarnya, Aisha tidak bisa berkomentar apa-apa. Sejak kecil, Agus memang selalu mengatakan bahwa ia akan menikahi Aisha suatu saat nanti. Namun tidak pernah dianggap serius oleh Aisha, karena ia memang tidak pernah merasakan apa-apa pada Agus, selain teman baik.
"Sudah-sudah, Ibu sama Zahra godain aku terus nih daritadi. Lebih baik kita sarapan saja dulu, sebelum telurnya dingin, hehehe."
***
"Aisha, kamu sudah bikin PR?"
Pagi yang biasa di kelas, saat hampir seluruh siswa sibuk menyalin PR. Begitu pun dengan Aisha, ketika ia baru duduk di kursinya, tiba-tiba beberapa temannya menghampirinya, dan menanyakan apakah ia sudah mengerjakan PR. Ditanyai seperti itu, mendadak Aisha langsung menepuk dahinya. Ia cari-cari buku PR-nya di dalam tas, namun hasilnya nihil.
"Kok, buku PR aku enggak ada, ya?" gumam Aisha, khawatir. Tak lama ia mengobrak-abrik tasnya sekali lagi, tiba-tiba ia langsung teringat bahwa buku PR-nya tertinggal di Masjid. Minggu lalu, ia memang memilih untuk langsung mengerjakan tugasnya saja sepulang sekolah. Kebetulan memang ada jadwal mentoring saat itu, jadi Aisha sekalian mengerjakannya di sana.
"Maaf ya, teman-teman. Aku ke Masjid dulu, buku PR-ku ketinggalan di sana, hehe," ujar Aisha.
Sesampainya di Masjid, ia langsung naik ke lantai 2, Masjid khusus anak perempuan. Di sana ada sebuah rak yang berisi buku-buku. Aisha pun menyisir rak itu, namun tidak ditemukan bukunya di sana. Tiba-tiba pundak Aisha ditepuk dari belakang, dan ketika berbalik, terlihatlah wajah manis milik Kak Yuni, anggota Rohis di sekolahnya.
"Assalamu'alaikum, Aisha. Lagi cari apa?" tanya Kak Yuni.
"Wa'alaikumsalam, Kak. Aku lagi cari buku PR Kimia-ku.." jawab Aisha. Matanya mulai mendung, takut kalau bukunya tak juga ditemukan.
"Kimia, ya? kalau tidak salah semua buku yang tertinggal di sini, disimpan di Sekret Rohis. Itu pengumumannya di Mading," balas Kak Yuni, sambil menunjuk Majalah Dinding yang terletak persis di belakang Aisha. Memang ada pengumuman tentang itu di sana. Akhirnya tanpa menunggu lama, Aisha langsung pamit pada Kak Yuni, dan bergegas turun menuju Sekretariat yang letaknya persis di depan Masjid.
Ruangan itu pintunya setengah terbuka. Sebenarnya ia ragu-ragu untuk masuk, namun demi PR-nya, ia pun mengetuk pintunya dan mengucapkan salam. Sebenarnya ia sudah bisa melihat punggung seseorang di dalam. Ketika sudah ada suara jawaban salam, Aisha pun melebarkan pintunya, dan melihat dua orang laki-laki di sana. Seorang dari mereka Aisha kenal sebagai Tresna, teman sekelasnya. Dan yang seorang lagi, Aisha sempat menahan napas selama beberapa detik, adalah Kak Arul. Kedua orang itu pun balas memandang Aisha, agak terkejut.
"Mohon maaf saya mengganggu, saya mau mengambil buku PR saya yang tertinggal di Masjid. Di mana saya bisa menemukannya, kira-kira?" tanya Aisha, mencairkan kegugupan yang menyelimuti ruangan itu. Tresna pun menyodorkan buku tulis yang sedang dipegangnya sejak tadi ke arah Aisha.
"Ini, Sha. Tadinya mau aku bawa ke kelas, eeh kamunya sudah datang duluan, hehe.." timpal Tresna (wajah putihnya mendadak memerah saat Aisha menerima bukunya). "Lain kali, jangan suka tinggal buku ya. Kalau sampai hilang, kan repot."
"Kalau tertinggal di Masjid, Insya Allah aman. Tapi benar juga apa kata Tresna, tidak baik meninggalkan buku seperti itu.." Kak Arul ikut mengomentari, yang langsung membuat Aisha menelan ludah grogi. Gadis itu pun hanya mengangguk sambil tersenyum sopan.
"I.. iya, Kak. Saya mengerti. Kalau begitu, saya pamit ke kelas dulu. Assalamu'alaikum.."
Sesampainya di Masjid, ia langsung naik ke lantai 2, Masjid khusus anak perempuan. Di sana ada sebuah rak yang berisi buku-buku. Aisha pun menyisir rak itu, namun tidak ditemukan bukunya di sana. Tiba-tiba pundak Aisha ditepuk dari belakang, dan ketika berbalik, terlihatlah wajah manis milik Kak Yuni, anggota Rohis di sekolahnya.
"Assalamu'alaikum, Aisha. Lagi cari apa?" tanya Kak Yuni.
"Wa'alaikumsalam, Kak. Aku lagi cari buku PR Kimia-ku.." jawab Aisha. Matanya mulai mendung, takut kalau bukunya tak juga ditemukan.
"Kimia, ya? kalau tidak salah semua buku yang tertinggal di sini, disimpan di Sekret Rohis. Itu pengumumannya di Mading," balas Kak Yuni, sambil menunjuk Majalah Dinding yang terletak persis di belakang Aisha. Memang ada pengumuman tentang itu di sana. Akhirnya tanpa menunggu lama, Aisha langsung pamit pada Kak Yuni, dan bergegas turun menuju Sekretariat yang letaknya persis di depan Masjid.
Ruangan itu pintunya setengah terbuka. Sebenarnya ia ragu-ragu untuk masuk, namun demi PR-nya, ia pun mengetuk pintunya dan mengucapkan salam. Sebenarnya ia sudah bisa melihat punggung seseorang di dalam. Ketika sudah ada suara jawaban salam, Aisha pun melebarkan pintunya, dan melihat dua orang laki-laki di sana. Seorang dari mereka Aisha kenal sebagai Tresna, teman sekelasnya. Dan yang seorang lagi, Aisha sempat menahan napas selama beberapa detik, adalah Kak Arul. Kedua orang itu pun balas memandang Aisha, agak terkejut.
"Mohon maaf saya mengganggu, saya mau mengambil buku PR saya yang tertinggal di Masjid. Di mana saya bisa menemukannya, kira-kira?" tanya Aisha, mencairkan kegugupan yang menyelimuti ruangan itu. Tresna pun menyodorkan buku tulis yang sedang dipegangnya sejak tadi ke arah Aisha.
"Ini, Sha. Tadinya mau aku bawa ke kelas, eeh kamunya sudah datang duluan, hehe.." timpal Tresna (wajah putihnya mendadak memerah saat Aisha menerima bukunya). "Lain kali, jangan suka tinggal buku ya. Kalau sampai hilang, kan repot."
"Kalau tertinggal di Masjid, Insya Allah aman. Tapi benar juga apa kata Tresna, tidak baik meninggalkan buku seperti itu.." Kak Arul ikut mengomentari, yang langsung membuat Aisha menelan ludah grogi. Gadis itu pun hanya mengangguk sambil tersenyum sopan.
"I.. iya, Kak. Saya mengerti. Kalau begitu, saya pamit ke kelas dulu. Assalamu'alaikum.."
***
Benar-benar membuat jantung hampir melompat. Batin Arul, setelah gadis impiannya baru saja meninggalkan sekretariat tempatnya duduk saat ini. Kalau boleh jujur, napasnya terengah-engah karena terus ditahan. Tresna, adik kelasnya pun terlihat sama groginya. Wajahnya yang putih, tak mampu menyembunyikan merahnya yang mulai muncul saat gadis itu menampakkan dirinya dari balik pintu. Dari gelagatnya saja, Arul sudah bisa mengetahui bahwa Tresna juga menyukai Aisha.
"Gadis tadi, Aisha, teman sekelasmu, Na?" tanya Arul (sebenarnya ia sudah tahu, namun memilih bertanya agar terlihat wajar). Tresna yang wajahnya masih memerah pun mengangguk. "Saya pernah baca cerpennya. Bagus sekali."
"Aisha memang enggak ada duanya, Kak. Di kelas, dia itu paling pintar, manis, rajin, lembut, dan.. pokoknya hampir sempurna deh.. tipe gadis idaman banget.. hehe," jawab Tresna, sambil menggaruk kepala belakangnya, menandakan ia sedang malu. Arul pun hanya tersenyum mendengarnya, karena deskripsi dari Tresna barusan memang tepat seperti yang selama ini ia tahu. Aisha Nur Arsyi.. gadis yang pernah membalut lukanya saat habis berkelahi dengan pemalak remaja pada saat SMP dulu..
"hmm.. begitu.. oh, iya, mengenai seminar junalistik yang tadi kita bicarakan, saya rasa semua persiapan kalian, panitia, sudah oke. Jadi tinggal urus kelengkapannya saja, ya? saya yakin acaranya bisa berjalan sukses," ujar Arul. "Sebentar lagi bel masuk, lebih baik kamu segera kembali ke kelas, Na. Siapa tahu ada temanmu yang butuh bantuan mengerjakan PR-nya, hehe."
"Ah, iya benar, Kak. Terima kasih banyak atas pendapatnya, kami sangat menghargainya, loh, hehe. Kalau begitu saya ke kelas dulu, Kak. Assalamu'alaikum,"
"Wa'alaikumsalam.." balas Arul. Setelah Tresna pergi, kenangan pertemuan pertamanya dengan Aisha pun kembali muncul. Saat SMP dulu, ia masih bandel dan jago berkelahi. Namun, tak pernah sekali pun ia duluan yang memulai perkara. Dalam artian, ia memang bandel, namun bukan tipe anak pembuat masalah. Suatu ketika, ia pulang sekolah sendirian. Karena sedang ada demo besar-besaran dari supir angkutan kota di dekat sekolahnya, ia pun terpaksa jalan kaki ke rumah. Sebenarnya ia tahu, ada sekumpulan remaja tak sekolah yang biasa "mangkal" di salah satu jalan sepi menuju rumahnya. Namun karena tak ingin membuang waktu dengan mengambil rute lain, akhirnya ia pun nekat melewati jalan itu. Profil Arul yang terkenal jago berkelahi pun tak disia-siakan oleh para remaja itu. Di cegahlah perjalanan Arul di sana. Karena bersikeras tak mau menyerahnya uang sakunya, perkelahian pun di mulai. Satu lawan delapan. Awalnya Arul masih bisa menanganinya dengan mulus. Namun karena kebetulan kesehatannya sedang kurang baik, staminanya pun malah habis di tengah perkelahian. Dikeroyoklah Arul oleh kedelapan remaja itu, sampai ia sendiri tak bisa melakukan apa-apa selain melindungi kepalanya dengan kedua tangan. Setelah remaja-remaja itu puas, Arul pun mereka tinggalkan dalam keadaan babak belur. Darah segar mengalir dari robekan lengan bajunya. Arul yang kesakitan memilih untuk tetap berbaring di jalan, menunggu rasa nyerinya berkurang. Tiba-tiba, datang seorang gadis menghampirinya. Melihat banyak darah yang mengalir, gadis itu pun (tanpa terduga) merobek ujung kemeja bawahnya yang memang sengaja dibiarkan panjang (model seragam sekolah perempuan berjilbab) dengan gunting dari tasnya, dan membalut luka Arul dengan itu. Diam-diam Arul memperhatikan gadis manis itu. Wajahnya cantik, putih.. dan sama-sama memakai seragam SMP, dengan tanda lokasi yang sama dengan seragamnya. Ternyata mereka satu sekolah. Mendadak tak terasa lagi nyeri di tangannya. Digantikan oleh desir halus nan menggelitik dari dadanya yang membuatnya merasa terganggu dan.. bahagia?
"Terima kasih banyak ya, sudah membalut luka saya.. kalau boleh tahu, nama kamu siapa?" tanya Arul, berniat tak ingin kehilangan identitas sang peri penolongnya. Gadis itu pun tersenyum manis, sambil membantu Arul berdiri.
"Sama-sama.. nama saya, Aisha Nur Arsyi.."
*Bersambung*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar