“Alhamdulillah, Ya, Allah!!”
Itulah kalimat pertama yang keluar dari bibir Aisha
Nur Arsyi ketika pengumuman pemenang lomba karya tulis remaja muslim nasional
dikumandangkan. Gadis kelahiran Bogor, 13 Desember 1992, ini dinobatkan sebagai
penulis cerpen remaja muslim terbaik nasional 2008. Cerpennya yang berjudul Remaja-Remaja Surga berhasil mengalahkan
beribu-ribu cerpen lainnya dari seluruh pelosok Indonesia. Kini ia dipersilakan
panitia untuk naik ke podium untuk mengucapkan sepatah dua patah kata. Dadanya
berdebar-debar tak keruan antara rasa cemas dan bahagia. Di sisi kanan bangku
hadirin, ia bisa melihat banyak acungan jempol dari sahabat-sahabatnya. Senyum
tulus merekah dari bibir mereka yang kemerahan. Aisha balas mengacungkan jempol
dan mempercepat langkahnya naik ke podium. Di dalam otaknya, ia membayangkan
betapa almarhum ayahnya akan sangat bahagia apabila bisa melihat impiannya terkabul. Apalagi
alasan utamanya untuk terus terjun di dunia tulis-menulis adalah karena
permintaan ayahnya yang terakhir. Setetes air mata menyembul dari ujung matanya
yang indah.
Setelah memberi sambutan yang lumayan menyihir
hadirin dengan kata-katanya yang puitis, Aisha langsung dihampiri oleh para
gadis remaja yang ternyata sudah benar-benar tersihir oleh karyanya. Ada yang
minta tanda tangan, foto bersama, bahkan ada yang menanyakan alamat rumah.
Aisha yang masih belum terbiasa dengan keadaan seperti itu, langsung menarik
diri dan menghambur bersama teman-temannya keluar dari gedung teater TMII.
“Subhanallah, Aisha! Kamu juara! Cerpenmu menjadi
yang terbaik se-Indonesia!!” seru Vita, gadis manis yang makin terlihar cantik
ketika tersenyum. Ada juga Lia, Tara, Sarah, Raya, Andini, dan Alya di
dekatnya. Aisha tak kuasa menahan haru. Ia pun langsung menangis di bahu Vita.
Sahabat-sahabatnya ikut merengkuhnya dan ikut menangis bahagia juga.
“Sha, aku bangga sekali punya sahabat sehebat kamu!
Padahal kamu masih enam belas tahun, tapi sudah mencetak prestasi secemerlang
ini! Aku sungguh enggak bisa bayangin gimana bangganya teman-teman yang lain!”
puji Lia. Bola matanya yang berwarna coklat terang bersinar seperti matahari. Aisha
menghapus air matanya dan memasang senyuman manis kepada sahabat-sahabatnya.
Sungguh kebahagiaan terbesar bisa mempunyai sahabat seperti mereka. Sahabat
yang selalu ada dalam suka mau pun duka. Sahabat dunia akhirat.
“Terima kasih banyak, teman-teman. Kalian baik
sekali. Aku beruntung sekali punya sahabat seperti kalian..” ucap Aisha, tulus.
“Oh, iya. Lebih baik kita pulang sekarang. Hari semakin senja, nanti keretanya
kehabisan, lho!”
***
Keesokan harinya, ketika Aisha sudah sampai di
depan kelas, mendadak kelasnya ricuh tak terkendali. Hampir semua teman
sekelasnya berhamburan menggamit lengannya dan membawanya masuk. Banyak
diantaranya yang menanyakan kabar dan memberi selamat atas prestasi cemerlang
yang ia dapatkan kemarin hari. Aisha hanya bisa tersenyum tanpa berkata-kata. Lalu
ia keluar menerobos kerumunan dan menghambur ke kursi tempatnya selama ini
duduk. Di sana sudah ada Alika teman sebangkunya, kini ia juga tengah tersenyum
menyambut kedatangannya yang terlihat dramatis. Aisha langsung duduk di
sampingnya dan balas tersenyum juga.
“Aisha, selamat atas keberhasilanmu. Maaf sekali
aku enggak bisa hadir di acara penting itu. Ayahku keluar kota, dan hanya ada
ibuku sendirian di rumah. Aku enggak tega ninggalin ibu sendirian. Sebenarnya
ibu juga ingin sekali menontonmu, tapi karena kesehatannya buruk, aku enggak
berani mengizinkannya,” ujar Alika panjang lebar membuka percakapan. Raut wajah
Aisha yang ramah dan rupawan kini berubah khawatir.
“Ibumu sakit lagi, Lika? Ya, Allah.. aku jadi
enggak enak.. Insya Allah sepulang sekolah aku akan main ke rumahmu untuk
menjenguk ibumu!” seru Aisha. Alika tersenyum dan mengangguk meng-iyakan.
“Kang
Fachrullah!”
Mendadak keduanya berpaling hampir bersamaan ke
arah sumber suara. Dan sungguh seperti dibetot hatinya, Aisha tersentak dan
langsung menunduk. Muhammad Fachrullah, anak laki-laki pertama yang pernah
membuatnya begitu mendesir selain ketika namanya diumumkan sebagai penulis
remaja terbaik nasional, kini tengah berdiri di sebelah Tresna, tepat di depan
jendela samping tempatnya duduk. Fachrullah juga ikut berpaling dan matanya
menangkap sosok jelita Aisha sekilas, dan langsung berlalu begitu saja.
“Aisha, tadi itu Kang Arul, kan?” tanya Alika
membuyarkan keheningan. Aisha mengangguk. Benar-benar aneh. Perasaan apa ini?
Seperti ada angin sejuk yang berdesir halus di hatinya. Seperti telah berhasil
menemuka barang berharga yang telah lama hilang. Dan seperti diberikan hadiah
terindah pada saat ulang tahun pertamanya...
“Ah, iya. Dia Muhammad Fachrullah, kelas 12 IPA
C..” jawab Aisha, agak tertegun. Matanya menerawang ke arah sinar matahari pagi
yang masih malu-malu menampakkan dirinya di timur sana. Membayangkan betapa
menyenangkannya apabila bisa menjadi benda-benda yang terbang bebas di angkasa.
Bisa melihat dunia secara luas dan dari sudut pandang mana saja. Bisa melihat
apa saja yang dilakukan Muhammad Fachrullah di luar sana...
“Astaghfirullah! Apa yang kupikirkan?!” seru Aisha
tiba-tiba. Alika hanya menatapnya heran dan geleng-geleng. Mungkin beginilah
reaksi seorang penulis apabila menemukan inspirasi baru, batinnya.
***
Aisha Nur Arsyi...
Pagi yang cerah
dan indah. Indah karena pagi ini ia sudah melihat sosok jelita bidadari subuh
itu. Walau masih malu-malu, ia tetap merasa senang. Ditambah lagi dengan adanya
kabar tentang gadis itu yang telah mendapat gelar penulis remaja terbaik
nasional. Apabila waktu bisa dipercepat sampai ia cukup umur untuk mengkhitbah
gadis itu, ia pasti rela menukarnya dengan apapun. Ia takut dosa. Ia takut
tidak bisa menahan perasaannya, dan kembali menjadi Muhammad Facrullah yang
dulu. Muhammad Fachrullah yang seorang pendurhaka dan pendosa.
“Assalamu’alaikum,
Kang Arul,” sapa Anwar, adik kelasnya.
“Wa’alaikumsalam,
Anwar. Ada apa?” balas Arul, ramah. Anwar tersenyum dan langsung mengeluarkan
beberapa lembar kertas berwarna seukuran A4 pada Arul. Sebuah tulisan cerpen,
yang berjudulkan Remaja-Remaja Surga
di halaman pertamanya. Senyum puas
merekah di bibir Arul. Ia menerima kertas itu dan langsung menjabat tangan adik
kelasnya.
“Syukran, Anwar. Semoga Allah membalas
kebaikanmu, amin,”ucap Arul. Anwar balas tersenyum dan undur diri dari
perbincangan.
“Sama-sama, Kang.
Insya Allah majalah dinding bulan depan bisa lebih baik dari yang sekarang. Syukran juga atas bantuan Kang Arul yang
selama ini selalu mengajari saya banyak hal. Baik dunia jurnalistik maupun
keagamaan. Saya ke kelas dulu ya, Kang. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam,”
balas Arul. Ia menunggu sampai sosok Anwar hilang, dan langsung mulai membaca
lembaran pertama kertas itu.
Lima sampai
sepuluh menit sudah Arul membaca. Saat baru selesai, matanya mendung menahan
haru. Sungguh maha karya yang luar biasa. Ia hampir tidak percaya kalau cerpen
ini dibuat oleh seorang gadis remaja yang umurnya baru menginjak enam belas
tahun. Alurnya mengalir lancar bagai air. Bahasa yang digunakan juga begitu
halus, cerdas, dan tidak menggurui. Dibanding karya-karya emas Aisha
sebelumnya, menurut Arul inilah yang paling bagus.
“Fauzan harus
membacanya..” gumam Arul. Ia memasukkan kertas itu ke dalam tasnya, sambil lalu
berjalan ke pintu keluar masjid. Saat hendak memakai sepatu, tiba-tiba ada yang
menepuk pundaknya dari samping dan mengucapkan salam. Spontan Arul menoleh. Di
sampingnya, duduklah Abdullah, kakak kelasnya yang sekarang sudah berstatus
alumni. Lelaki berperawakan tinggi itu menyunggingkan seutas senyum ramah yang
langsung disambut senyuman juga oleh Arul.
“Wa’alaikumsalam,
Kang Dullah. Ada rapat lagi, ya?”
“Enggak. Saya mau
bicara sesuatu sama kamu, Rul. Ada waktu?”
“Tentu, Kang.
Memangnya ada hal apa yang ingin dibicarakan? Kelihatannya penting sekali.”
Abdullah pun menghela napas pelan, dan langsung membisikkan sesuatu di telinga
Arul.
“Saya sudah
selidiki tentang orang yang mengeroyok adikmu, Rul. Teman-temanku yang tinggal
dekat rumahmu semuanya tahu siapa orang itu. Namanya Agus, teman SMP adikmu.
Saya memang belum terlalu yakin, tapi menurut saksi mata, ciri-ciri orang itu
mirip sekali dengan Agus Hendrawan. Cowok bengal yang tergila-gila pada Aisha
Nur Arsyi, siswi kelas sebelas itu. Adikmu kenal dengan gadis itu, kan?”
Hati Arul
mencelos. Ia baru ingat kalau Aisha Nur Arsyi itu adalah gadis yang disukai
adiknya. Yang disukainya juga...
“Oh.. Iya, Kang.
Terima kasih banyak atas bantuan Akang selama ini. Insya Allah akan saya
tanyakan langsung pada adik saya. Kesehatan dan kesadarannya memang belum pulih
seratus persen, tapi walau begitu, ia sudah bisa mendengar dan berbicara
sedikit-sedikit. Nanti kalau ada kemajuan, Insya Allah akan saya kabari Akang
lagi. Syukran, Kang.
Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam,”
balas Abdullah, lalu ia masuk ke masjid, meninggalkan Arul dengan segala
pikiran dan dilemanya.