Kamis, 29 November 2012

A Letter To My Mother


Kepada Mamaku Tercinta,
Di relung hatiku...

Mama, apa kabar? Entah mengapa aku merasa malu menulis surat ini untukmu, Mah.. karena aku takut Engkau akan memarahiku jika tulisanku jelek, hehe. Setiap hari, aku yakin mama menganggapku seorang anak yang cuek, yang tidak peduli pada apapun yang Engkau kerjakan.. namun aku hanya ingin Mama tahu, hatiku tidak seperti itu.. aku ingin mengungkapkan lewat lisan, tapi tak sanggup kata ini mengalir. Ingin kuungkapkan dengan perlakuan, namun raga ini menolak untuk bergerak. Aku tahu aku adalah seorang anak yang tidak berbakti kepadamu, Mah. Yang tidak sanggup membalas budi. Yang tidak tahu berapa banyak air mata yang mengalir dari wajahmu di saat sujud malammu mendoakan kesuksesanku. Aku hanya bisa memandangimu lewat celah pintu kamarmu saat kau terlelap di malam yang dingin, lalu menutup celah itu dan kembali lagi ke kamarku sendiri. Tanpa mendekat untuk sekedar memandangmu lebih dekat, atau mencium pipimu, atau membelai rambutmu yang masih halus. Aku terlalu congkak. Sombong. Dan tidak memiliki kelembutan hati sepertimu..

Jadi kuputuskan, untuk menulis surat ini.. entah nantinya aku berani untuk menyerahkan langsung padamu atau tidak, aku tidak peduli. Yang penting luapan hatiku tentang kerinduanku padamu bisa tercurah pada secarik kertas putih yang kemungkinan akan kau temukan di meja riasmu suatu hari.. untukmu.. aku memiliki puisi..

Gemericik air
Bukan hujan, namun tetesan air mata, yang hanya bisa didengar oleh hatiku
Suara goretan pena
Dengan tinta, yang melahirkan kandungan kerinduanku padamu kepada secarik kertas putih
Di malam ini, aku menulis padamu..
Tak panjang.. karena nampaknya tak sanggup kata ini mengalir sederas air bah, seperti yang ada di pikiranku
Aku merindukanmu
Aku merindukan pelukanmu
Aku merindukan pelukanmu, dan ciuman hangatmu di kening ketika mengantarku tidur dulu
Aku mengemis maaf dari hatimu, atas ketidakpedulianku padamu selama ini
Kubilang sekali lagi, aku merindukanmu
Menyayangimu
Mencintaimu...
Sepenuh hatiku..

Kurasa puisiku barusan sudah bisa mewakili kerinduanku padamu, Mah.. aku harap ketika mama membacanya, aku sudah berubah menjadi anak yang bisa membuka hati, yang bisa memelukmu seperti saat masih kecil dulu, yang bisa dengan mudah mengatakan, “Aku sayang mama!”, tanpa rasa malu juga gengsi. Kuakhiri saja suratku sampai di sini..

Sekali lagi, untukmu Mama..
Dari aku, anakmu, yang selalu mencintaimu walau ditutupi oleh kebisuan. 

Kamis, 22 November 2012

Kereta Api, Cilebut, dan Tanah Longsor

Bogor kota hujan. Itulah sebutan yang selama ini selalu dilontarkan kepada kota kelahiran saya (^_^v). Predikat kota hujan memang cocok kota ini, terlebih pada saat musim hujan yang terbilang ekstrim seperti sekarang. Pada tanggal 21 November 2012 lalu, di kilometer 45 antara stasiun Cilebut dan Bojong Gede, terjadi longsoran tanah yang mengakibatkan runtuhnya 4 tiang listrik, dan sepuluh rumah tertimbun tanah. longsoran tanah yang terjadi pada fondasi rel kereta api itu terjadi beberapa menit setelah kereta melintas (KOMPAS.com). Kejadian itu menyebabkan penumpukan penumpang di stasiun Bojong Gede (tempat pemberhentian akhir sementara untuk saat ini).

Sekitar pukul sembilan malam, saya diminta oleh ayah saya untuk menjemput beliau di stasiun Bojong Gede karena tidak mendapat angkot. Akhirnya mau tidak mau saya pun menyalakan motor dan melajukannya segera. Ketika masih di daerah Cilebut, keadaan masih terlihat normal. Namun saat motor saya sudah memasuki kawasan Petaunan, keanehan mulai terjadi (jeng jeng jeng! hehe tenang aja ini bukan cerita horor kok ^_^). Berbondong-bondong manusia membelah jalan menjadi potongan sempit yang mengakibatkan kemacetan alot. Usut punya usut, mereka semua adalah penumpang kereta api tujuan Stasiun Cilebut dan Stasiun Bogor. Yup, seperti yang sudah tertebak, mereka terpaksa jalan kaki dari Bojong Gede... bayangkan teman-teman! dalam hati saya bersyukur masih memiliki motor di rumah sehingga ayah saya tidak harus ikut berjalan jauh seperti itu... (dan mendadak hening, kemudian galau... oke lanjut!)

Kalau boleh jujur, miris rasanya melihat wajah lelah mereka.. pulang kerja.. pulang kuliah.. pulang main (hehe).. ketika di kereta, mereka mungkin saja sudah membayangkan akan disambut oleh Es Teh Manis di rumah.. namun harapan mereka sirna ketika kereta sudah berhenti di stasiun Bojong Gede.. Ingin naik angkutan umum, tidak ada yang bisa dinaiki lagi karena padatnya penumpang. Terpaksa mereka pun jalan kaki menuju rumah.. bayangkan teman-teman, bayangkan...

Kejadian kemarin ini, kebanyakan masyarakat menyalahkan pengelola kereta api yang kurang tanggap dalam melihat kondisi medan. Hal itu memang ada benarnya, namun apa adil jika kita sepenuhnya menyalahkan mereka? kejadian tanah longsor bukanlah hal yang bisa dikendalikan oleh manusia. Apakah lintasan kereta api, juga tanah yang sudah terlanjur menimbun rumah di bawahnya itu bisa diperbaiki sendiri hanya dengan lontaran makian kepada pengelola? justru hal inilah yang harus segera diluruskan.. masyarakat yang maju, adalah masyarakat yang dapat menghasilkan solusi, bukan hanya teori.

Menurut berita, perbaikan lintasan kereta itu bisa memakan waktu lumayan lama. Hal itu tentu saja akan sangat mengganggu kenyamanan dan kegiatan masyarakat yang sehari-hari menggunakan jasa kereta api untuk berangkat kerja, kuliah, sekolah, dan kegiatan lainnya. Namun apabila kita hanya mengikuti hawa nafsu, hawa marah, kecewa.. maka rasa nyaman yang dirindukan takkan pernah kita dapatkan. Karena apa? karena kita tidak mau berempati.. berempati untuk siapa? untuk pengelola kereta api yang sebenarnya juga ikut terganggu akibat musibah ini.

Perbaikan lintasan pastinya akan segera diselesaikan. Dengan bersabar, maka kita pun akan mendapat ketenangan tersendiri. Jangan mudah terpancing untuk menyalahkan pengelola mentah-mentah. Mau tidak mau, sudah kewajiban mereka untuk memperbaikinya. Yang mereka butuhkan hanyalah waktu, beserta dukungan dari pengguna setia kereta api seperti kita ini. Janganlah kita menambah beban mereka dengan selalu mengeluh, mengeluh, dan mengeluh. Sudah saatnya bagi kita menjadi masyarakat yang peduli sesama. Termasuk kepada pengelola kereta api. Pengelola juga manusia, memiliki banyak kekurangan (walau tak bisa dijadikan alasan untuk menunda-nunda).

Foto-foto mengenai migrasi besar-besaran penumpang kereta dari stasiun Bojong Gede ke Cilebut Insya Allah di kesempatan berikutnya apabila memungkinkan. Tetap semangat, tetap berjuang, dan SALAM GUNADARMA!

Rabu, 21 November 2012

CERBUNG - HEAVEN (Part 2)

Aku ingin jadi malam.. yang mampu membuaimu sampai tertidur juga terlelap pada gelapnya malam...

Kalimat itu, muncul begitu saja di kepala Aisha. Kala itu ia hanya duduk termangu di meja komputernya, sembari mengulang kembali kejadian siang tadi di sekolah...

Muhammad Fachrullah...

Nama itu kembali terngiang. Aisha menggeleng-gelengkan kepalanya sekeras mungkin agar ia sadar. Pasti ini pengaruh dari kualitas tidurnya yang sangat buruk akhir-akhir ini, sehingga pikirannya sering melayang tak jelas ke mana-mana. Ia pun memutuskan bangkit dari kursi perenungannya, dan ke kamar mandi untuk cuci muka. Tak lama kemudian, terdengar suara lembut ibunya dari luar kamar.

"Aisha! Zahra adikmu, datang mencarimu!"
"Iya, Bu! Aisha segera keluar!"

Buru-buru ia keringkan wajahnya dengan handuk, lalu keluar kamar. Di ruang tamu, duduk seorang gadis manis berusia 10 tahun, Zahrawati namanya. Ia adalah tetangga Aisha, yang sudah dianggap keluarga olehnya.

 "Assalamu'alaikum, anak cantik. Tumben sekali malam-malam main ke sini?" sapa Aisha, membuat Zahra menoleh dan langsung menghambur memeluk gadis yang sudah ia anggap kakak sendiri ini. "Eits, kenapa toh langsung nyerbu aku begini?"

Zahra masih memeluk Aisha dengan erat. Walau sedikit heran, Aisha memutuskan untuk tidak bertanya dulu perihal kelakuan adiknya ini sampai ia sendiri yang mengutarakan maksudnya. Aisha pun menggiring Zahra duduk, dan menghadapkan wajahnya pada wajah gadis mungil itu.

"Zahra, kamu kenapa?" tanya Aisha penuh kelembutan. Matanya yang jernih menembus mata indah nan suci milik Zahra. Gadis kecil itu tidak langsung menjawab. Nampaknya ia masih menikmati beningnya tatapan Aisha.

"Kak Agus.. kabur lagi dari rumah, Kak Ica. Ibu di rumah sakit-sakitan. Cuma aku dan ibu yang ada di rumah. Aku takut, Kak Ica..." jawab Zahra. Matanya mulai berkaca-kaca. Kakaknya yang bernama Agus memang terkenal bandel. Sering berkelahi dan kabur dari rumah. Kejadian seperti ini bukanlah yang pertama kali. Seperti biasa, Aisha memutuskan untuk menginap di rumah Zahra untuk menemani sekaligus merawat ibunya yang sakit.

"Ya sudah kakak temani kamu lagi, ya? sekalian kita beli obat buat ibumu, gimana?"
Zahra mendadak riang dan mencium tangan Aisha. Air matanya kini tak bercucuran lagi. Setelah mengemas seragam sekolah dan perlengkapan lainnya yang akan dipakainya besok pagi, Aisha pun pamit pada ibunya, dan mengantar Zahra pulang ke rumah.

***
Malam sudah sampai pada pukul setengah sembilan. Muhammad Fachrullah, atau yang sudah biasa disapa Arul, masih dalam perjalanan dari Masjid menuju rumahnya. Jalanan sangat becek pasca hujan deras sore tadi. Memaksanya berjalan sambil menyingkap sedikit sarungnya yang hampir pasrah terkena cipratan lumpur merah. Tak lama kemudian, ia pun sampai di rumahnya yang terletak persis di tengah-tengah desa.

"Assalamu'alaikum!"

Terdengar suara jawaban salam dari dalam rumah. Arul pun masuk. Di ruang tamu, ada kedua orang tuanya yang sedang asyik berdiskusi mengenai acara televisi. Obrolan mereka pun terhenti ketika melihat anak pertamanya masuk.

"Kenapa pulangnya cepat sekali, Nak? memang tidak ada pengajian? biasanya kamu kan pulang jam sembilan malam." tanya ayahnya. 

"Pengajian tetap ada, Yah. Hanya dipersingkat saja karena Ustadz-nya tiba-tiba ada urusan.." jawab Arul. "Oh, iya. Fauzan sudah tidur?"

Tiba-tiba, suara yang mirip sekali dengan suara Arul pun menyahut dari dalam ruangan sebelah ruang tamu. Itu suara Fauzan, adik Arul. Tepatnya, adik kembarnya.

"Ayah, Ibu, saya permisi masuk dulu.." pamit Arul dan kemudian undur diri.

Arul masuk ke kamar adiknya, yang ternyata sedang berbaring. Terpaksa berbaring karena ia memang tidak bisa bergerak bebas apalagi beranjak dari tempat tidur. Kaki, tangan, dan kepalanya masih dibebat dengan perban. Jujur saja Arul sangat miris melihat kondisi adik kembarnya yang sudah seperti ini sejak beberapa lama yang lalu karena dikeroyok oleh teman-teman sepermainannya. Motif sebenarnya dari pemukulan itu belum terungkap, karena Fauzan sendiri belum bisa memberikan keterangan yang lengkap mengenai kasusnya karena kondisinya yang membuatnya sulit mengingat kejadian itu.

"Cerpen Aisha jadi terbaik se-Indonesia loh.. kamu tahu?" awalnya Arul ingin berbasa-basi sedikit untuk memulai percakapan mengenai Aisha dengan adiknya, namun entah mengapa lidahnya terasa kelu. Fauzan yang tadinya terlihat lemas pun mendadak seperti mendapat kembali kekuatannya.

"Serius? Alhamdulillah... aku senang dengernya! oh, iya, kamu bawa enggak cerpennya dia?" Arul pun mengambil lembara-lembaran kertas berisi cerpen Aisha dari atas meja belajarnya, dan memberikannya pada Fauzan untuk dibaca.

Beberapa menit kemudian, Fauzan selesai membaca dan langsung terdiam sambil memejamkan matanya, dan mendekap kertas cerpennya di dadanya. Seperti sedang menghayati. Oh, Iya, sekedar info, Fauzan adalah penggemar Aisha sejak mereka bertemu di SMP dulu... dan hal itulah yang selama ini membuat Arul gundah. Ia selalu bertanya-tanya dalam hati, mengapa ia bisa menyukai orang yang sama dengan adik kembarnya? apakah karena mereka memang.. kembar?

"Bagus sekali tulisan ini.. indah.. aku enggak sabar mau masuk sekolah, dan ketemu sama dia di kelas lagi.. bahkan kalau boleh jujur, aku bersyukur pernah enggak naik kelas ketika SMP dulu.. sehingga bisa seangkatan, dan bahkan sekelas dengannya seperti sekarang ini.." ujar Fauzan. Arul memaksakan senyumnya yang biasa. Ia senang adiknya bisa kembali bersemangat setelah membaca cerpen itu, namun di sisi lain... entahlah... ia tidak berani memikirkannya...

"Ya sudah kalau begitu, kamu harus banyak-banyak istirahat supaya cepat sehat dan kembali ke sekolah. Kalau kamu bolos terus seperti ini, aku khawatir Aisha akan jatuh ke pelukan orang lain. Hahahahaha..." Arul menggoda adiknya, yang langsung melotot dan melempar bantal padanya. 

"Enggak mungkin dia jatuh ke pelukan orang lain! karena dia sudah ditakdirkan sama aku! huahahaha!" balas Fauzan penuh kemenangan. Arul pun hanya terkekeh sambil keluar kamar adiknya. Ketika sudah di luar, wajah cerianya kembali muram. Ia tidak tahu sejak kapan ia pandai bermain peran seperti ini...

*Bersambung*

Berlanjut ke Heaven (Part 3)