Aku terpana
Pada abu, yang setia kepada namanya
Yaitu abu
Hanya tiga baris puisi itulah yang
dibacakan Wulan di depan kelas, saat gurunya memintanya maju untuk menampilkan
puisi buatannya. Hampir semua alis yang berada di kelas itu terangkat heran, termasuk
milik Bu Eni, yang tebal dan hitam, juga masih menawan. Wulan yang karyanya
begitu singkat, tidak merasa heran apalagi malu sama sekali. Ia hanya
tersenyum, sambil memandangi wajah teman-temannya yang tercengang. Ia tahu,
puisinya terlalu pendek. Namun, memangnya ada masalah dengan itu?
“Puisimu luar biasa, Wulan. Luar
biasa singkat,” ujar Bu Eni, tanpa ada niat untuk menyindir. Wulan kembali
tersenyum. Ia tidak menyesal, karena kata hatinyalah yang mendorongnya menulis
puisi yang tiga baris itu. Dengan masih percaya diri, ia mengucapkan terima
kasih dan kembali duduk di tempatnya.
“Aku
terpana.. pada abu, yang setia kepada namanya.. yaitu abu.. sebelum ibu
bertanya sendiri pada Wulan, ada yang bisa memahami maksud dari puisi singkat
ini? Sangat menarik untuk dijadikan bahan kajian sastra,” tanya Bu Eni kepada
seluruh muridnya. Ditanyai seperti itu, tak ada satu pun yang mengajukan diri
untuk menjawab. Seluruh kelas hening, menimbulkan efek desingan yang memekakkan
telinga di tengah kesunyian. Karena tak ada yang menjawab, Bu Eni pun terpaksa
meminta Wulan sendiri untuk menjelaskan isi dari puisi buatannya itu.
“Sebelumnya aku minta maaf karena
puisi buatanku terlalu singkat. Aku tidak bermaksud meremehkan tugas yang
diberikan Ibu, melainkan hanya ingin menyuarakan apa yang sedang tersemat di
hatiku saja, persis seperti yang Bu Eni ajarkan apabila ingin menulis sebuah
puisi. Sebenarnya, puisi itu sudah menunjukkan artinya secara nyata. Tak ada
maksud lain yang ingin kusampaikan selain apa yang sudah tertera di dalam
puisiku itu. Aku terpana pada abu, karena ia setia pada namanya. Aku yakin
teman-teman sudah ada yang menerka, abu memang memiliki warna yang sama dengan
namanya. Abu, berwarna abu, selalu abu. Artinya dia setia. Bukankah begitu,
Bu?” jawab Wulan, tegas dan tetap pada kelembutannya. Bu Eni tersenyum
mendengar jawabannya. Ia sadar, muridnya yang bernama Wulandari ini benar-benar
memiliki bakat besar di bidang sastra. Sebagai guru Bahasa Indonesia-nya, ia
tidak akan menyia-nyiakan bakat muridnya ini.
Saat pelajaran baru saja diteruskan,
tiba-tiba pintu kelas diketuk. Kemudian masuklah Pak Iqbal, guru muda yang
selalu menjadi idaman bagi semua siswi—bahkan guru-guru muda—di Sekolah
Menengah Atas itu. Senyumannya yang menawan, ia lemparkan kepada seantero
kelas, termasuk kepada Bu Eni, yang kini hanya setengah menunduk menyembunyikan
wajahnya yang mulai merah jambu.
“Pak Iqbal, apa ada sesuatu yang
ingin disampaikan?”
“Ah, iya, Bu Eni. Saya hanya ingin
menyampaikan undangan rapat darurat dari kepala sekolah, sekarang juga, di
ruangan beliau. Ada masalah mendesak yang harus segera dibicarakan. Rapat akan
dimulai sepuluh menit lagi. Semua guru diperintahkan untuk menghentikan KBM,
dan menghadiri rapat. Semua guru, tanpa terkecuali,” ujar Pak Iqbal. Bu Eni pun
menyanggupi undangannya, dan langsung pamit kepada murid-muridnya, kemudian
mengikuti Pak Iqbal keluar ruangan.
“Kalau saya boleh tahu, masalah apa
yang sedang terjadi, Pak?” tanya Bu Eni ketika dirinya dan Pak Iqbal berjalan
berdua menuju ruang kepala sekolah. Dari jendela-jendela kelas yang mereka
lewati, ia bisa rasakan ada beberapa mata yang mengawasinya. Mungkin milik
murid atau guru, ia sudah tidak peduli lagi. Namun pikirannya mengenai siapa
yang tengah mengawasinya pun terhenti dengan jawaban dari Pak Iqbal.
“Ini tentang Seruni, anak pemilik
yayasan sekolah ini. Ia bersikeras menuntutmu untuk mengikutkannya di lomba
puisi itu. Saya tidak paham alasan apa yang membuat kamu tidak memilihnya
alih-alih memilih Wulandari. Sepenglihatan saya, dia juga memiliki bakat yang
luar biasa. Saya harap.. aku harap kamu berhati-hati, En..” jawab Pak Iqbal,
kini kesan formal sudah dihilangkannya, digantikan oleh kekhawatiran yang
dilontarkan dari seorang calon suami. Bu Eni diam. Ia jengkel setengah mati
dengan apa yang akan dihadapinya nanti. Seakan jika ingin digeneralisasikan,
persaingan antara Seruni dan Wulandari bisa menjadi simbol dari pertarungan
antara orang kaya versus orang miskin.
“Aku tidak habis pikir anak itu akan
berani menuntutku.. ah, kepalaku sakit sekali, aku bisa gila!” Bu Eni berang.
Ia percepat jalannya mendahului Pak Iqbal. Kerudung putih yang dikenakannya
berkibar melawan arah angin ketika ia bergegas. Pak Iqbal menyusulnya dengan
sabar di belakangnya, sambil tak henti-hentinya berdoa agar keadaan akan selalu
baik-baik saja, terutama untuk calon istrinya itu.
***
“Benar-benar, aku bisa gila, gila!”
Kini Bu Eni dan Pak Iqbal tengah
duduk berhadapan di suatu kedai kopi dan teh tak jauh dari sekolah tempat
mereka mengajar. Pak Iqbal sengaja mengajak Bu Eni ke kedai itu karena ia tahu
suasana hati gadis itu sedang tidak baik. Mungkin secangkir teh dapat
menetralisir kemarahannya. Dengan sabar Pak Iqbal hanya diam mendengarkan
curahan hati Bu Eni, karena ia tahu, secuil bantahan dapat memperburuk keadaan
seperti di medan perang. Hal ini—mampir ke kedai kopi—memang hal yang rutin
mereka lakukan, namun tidak ditemani dengan suasana kemarahan. Namun tetap
saja, Pak Iqbal selalu menjadi Muhammad Iqbal yang penyabar, sama sabarnya
seperti dulu saat dengan susah payah ia mengejar Bu Eni untuk mau menerima
lamarannya. Eni Humaira, gadis paling keras kepala yang pernah ia temui di
dunia ini.
“Jadi, karena dia anak pemilik
yayasan, aku harus menuruti semua perkataannya, begitu? Pecat aku jadi guru
kalau itu memang harus dilakukan! Aku tidak percaya ini!” seru Bu Eni, sambil
menyerang kue tart strawberry-nya. “Aku memang guru muda, masih naif. Aku tidak
takut dengan ancaman bocah ingusan sepertinya!”
“Eni Humaira.. tenangkan dirimu.
Kemarahanmu hanya akan memperburuk suasana hati. Aku jamin, kau tidak akan
pernah merasa tenang kalau bibirmu berdarah karena kau gigiti terus sepanjang
rapat tadi. Ini, cepat basuh lukamu,” Pak Iqbal berusaha menenangkan Bu Eni. Buru-buru
Bu Eni mencari cermin dari tasnya dan mengecek bibirnya. Ia sambar tisu yang
disodorkan Pak Iqbal, dan membersihkan darah dari bibirnya. Ia benci keadaan
seperti ini. Sungguh labil. Ia malu pada calon suaminya.
“Maafkan aku.. aku sangat
kekanakan.. aku malu, sungguh,” ujar Bu Eni. Pak Iqbal hanya tersenyum manis
menanggapinya. Beberapa menit berlalu tanpa percakapan, hanya sesekali
terdengar suara kopi dan teh yang disesap pelan-pelan.
“Jadi, apa keputusanmu?
Mempertahankan Wulandari atau menyerah pada Seruni?” tanya Pak Iqbal. Bu Eni
mengembuskan napasnya secara terang-terangan. Kemudian melipat kedua tangannya
di atas meja, lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Pak Iqbal.
“Kamu mau tahu? Benar-benar ingin
tahu?” bisik Bu Eni. Pak Iqbal pun mengangguk semangat dan langsung pasang
telinga. “Kupikir, kamu harus cepat-cepat menikahiku, Mas. Karena menurutku,
aku tidak akan bisa bekerja lagi di sekolah itu. Kau mengerti maksudku?”
“Me.. menikah maksudmu?” Wajah Pak
Iqbal merah padam, ia pun menjadi gugup. “Jadi, kamu memutuskan untuk
mempertahankan Wulandari?”
“Yup.. benar.. hehe..” jawab Bu Eni,
ceria. Tawanya yang renyah membuat hati Pak Iqbal berdesir. Baru kali ini calon
istrinya itu menawarkan diri untuk menikah, karena biasanya, walau ia sudah
resmi melamarnya, Bu Eni sama sekali belum mau membicarakan masalah pernikahan.
Bahkan Pak Iqbal sempat berpikir, Bu Eni mungkin lebih mencintai pekerjaannya
sebagai guru daripada menjadi istrinya.
“Apa pun keputusanmu, aku tidak akan
membantah. Kau tidak perlu khawatir, aku selalu di belakangmu,” ujar Pak Iqbal
tulus.
“Terima kasih banyak. Doakan agar
aku bisa mewujudkan impian Wulandari, mau pun impianku sendiri. Sekali lagi,
terima kasih banyak, Mas,” balas Bu Eni.
Keadaan sudah mencair. Bu Eni sudah
mau tertawa lagi seperti biasa. Setelah menghabiskan sekitar satu jam di kedai
itu, mereka pun memutuskan untuk pulang. Meninggalkan satu lagi kenangan manis
di meja nomor tujuh tempat mereka selalu duduk, sejak dulu saat mereka masih di
bangku SMA.
***
“Kamu gugup?”
Bu Eni dan Wulandari sudah berada di
gedung kesenian, tempat diselenggarakannya lomba menulis dan membaca puisi
tingkat Kota. Bu Eni memang teguh dengan pendiriannya, yaitu mempertahankan
Wulandari. Ia tidak takut sama sekali dengan ancaman Seruni yang ingin
memberhentikannya dari Sekolah. Ia tidak peduli. Satu-satunya yang ia pedulikan
hanyalah Wulandari dan impiannya.
“Saya tidak gugup, Bu. Saya memiliki
firasat akan pulang dengan membawa piala hari ini, hehehe..” jawab Wulan.
Kepercayaan dirinya yang tinggi adalah hal yang sangat disukai Bu Eni. Karena
walaupun begitu, Wulandari tidak pernah sombong sama sekali. Ia tetap optimis,
namun tidak melunturkan sikap rendah hatinya.
“Bagus sekali. Ibu suka. Kamu tunggu
di sini sebentar, ibu akan ke meja panitia menanyakan urutan tampilmu. Kamu
jangan ke mana-mana. Ibu tidak ingin repot mencarimu kalau kamu hilang nanti.
Mengerti?”
Wulandari tersenyum dan mengangguk.
Bu Eni pun meninggalkannya ke meja panitia. Tak lama kemudian, pundaknya
ditepuk dari belakang. Pak Iqbal sudah berdiri di sampingnya, memakai pakaian
kasual, membuat Wulan pangling. Ternyata dengan melepas seragam gurunya, Pak
Iqbal lebih terlihat seperti anak muda lainnya. Tampan dan trendi, namun tetap
menjunjung tinggi nilai kesopanan.
“Bu Eni mau ke mana, Lan? Kamu
sendirian saja di sini?” tanya Pak Iqbal.
“Bu Eni sedang menanyakan urutan
tampilku, Pak. Bapak sendiri kenapa ada di sini? Bukannya Bapak harusnya
mengajar?” tanya balik Wulan, membuat wajah Pak Iqbal merah padam. Guru muda
itu pun hanya nyengir sambil mengusap kepala belakangnya, grogi. Kalau boleh
jujur, ia memang sedang “membolos” hari ini.
“Saya.. ditugaskan kepala sekolah
untuk mendampingi kalian,” jawab Pak Iqbal, bohong. Wulandari mengerti dan
memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Beberapa menit kemudian, Bu Eni sudah
bersama mereka. Wajahnya merah padam. Bukan karena tersipu akan kedatangan Pak
Iqbal, melainkan karena apa yang baru saja ditemuinya di meja panitia barusan.
Nama Wulandari tidak ada. Lebih tepatnya, diganti oleh Seruni Sastranegara
mewakili nama SMA mereka. Bu Eni jelas geram. Kalau saja Pak Iqbal tidak
menyusulnya ke meja panitia tadi, mungkin akan ada keributan yang tercipta saat
ini.
“Aku tidak habis pikir. Tidak habis pikir. Apa uang sebegitu
berkuasanya? Sungguh, aku bisa gila!”
Orang yang sangat tidak diharapkan
kehadirannya pun muncul. Seruni datang menghampiri mereka, ditemani oleh Bapak
Kepala Sekolah. Wulandari yang dalam hatinya sangat sedih, masih bisa menahan
emosinya. Pak Iqbal yang selalu tenang, masih sama tenangnya dengan sebelumnya.
Sedangnya Bu Eni yang tipe meledak-ledak, tidak sudi menahan egonya, dan tetap
menunjukkan kekesalannya. Bahkan di depan murid dan atasannya sekali pun.
“Selamat siang, Bu Eni. Saya lihat,
suasana hati Anda sangat baik hari ini,” sapa Kepala Sekolah. Bu Eni
terang-terangan memutar bola matanya sambil melipat kedua tangan di depan dada.
“Wah, saya terkejut melihat ada Pak Iqbal di sini. Menjemput Bu Eni dan Wulandari,
saya kira?”
“Ah.. saya.. saya hanya mendampingi
mereka berdua, Pak. Baru lima belas menit saya sampai di tempat ini,” jawab Pak
Iqbal, tenang, walau sedikit gugup. Suasana sangat canggung. Seruni yang murah
senyum—walau dalam hati Bu Eni yakin anak itu sedang menertawakannya—mengambil
posisi di sebelah Wulandari yang balas tersenyum padanya. Mereka memang
berteman. Sangat baik malah. Hanya ego yang membuat hubungan mereka renggang.
Lebih tepatnya, ego milik Seruni yang menciptakan jarak di antara mereka, yang
sama-sama ingin tampil membacakan puisi buatan mereka di depan para juri.
“Saya ingin bertanya, Bapak Kepala
Sekolah yang terhormat. Ada keperluan apa Anda dan Seruni datang ke tempat ini?
Bukankah seharusnya Anda dan Seruni di Sekolah?” tanya Bu Eni, sekuat mungkin
menahan nada marahnya demi menjaga kesopanan, namun tidak berhasil sama sekali.
Pak Kepala Sekolah tersenyum, ia memegang pundak Seruni dan menepuk-nepuknya.
Jelas sekali ingin membuat Bu Eni tambah jengkel.
“Saya ke sini ingin mengantar
Seruni, Bu Eni. Dia yang akan mewakili Sekolah kita dalam perlombaan ini.
Justru saya yang heran melihat Bu Eni di sini, saya kira hasil rapat kemarin
sudah jelas?” jawab Pak Kepala Sekolah.
“Bukankah sudah jelas juga keputusan
saya kemarin, Pak, mengenai siapa yang akan mewakili sekolah kita? Saya sudah
bersedia menerima semua konsekuensi yang ditawarkan!” balas Bu Eni. “Bahkan
saya sudah...” Bu Eni berhenti berbicara. Ia sadar tindakannya sudah keluar
dari batas kesopanan. Ia pun menoleh ke arah Wulandari dan memegang pundaknya.
Wulandari balas memegang tangan Bu Eni, dan mengangguk, mengisyaratkan bahwa ia
baik-baik saja. Setetes air mata menyembul dari mata Bu Eni yang indah. Ia
sangat tahu segala perjuangan yang dilakukan Wulandari demi mengikuti lomba
ini. Tiba-tiba dari pengeras suara diberitahukan bahwa lomba akan dimulai
sepuluh menit lagi. Diumumkan pula daftar nama peserta lomba yang harus
bersiap-siap. Benar-benar tak ada nama Wulandari di sana. Bu Eni pun memutuskan
untuk mengalah pada egonya.
“Seruni, mau kah kamu bersedia
berbagi peran dengan Wulandari? Maksudku, biarkan saja kamu yang ikut lomba
membaca puisi, tapi tolong persilakan Wulan untuk menuliskan puisinya untukmu.
Jadi kamu dan Wulan akan menjadi kolaborasi, aku sudah mengecek peraturannya
dan hal itu dibolehkan. Kamu mau, kan?”
Seruni tampak bimbang. Ia sadar
sikapnya sudah sangat keterlaluan terhadap sahabat dan gurunya—yang jujur saja
sangat dikaguminya—itu. Ia tahu puisi buatannya tidak akan mampu menandingi
indahnya puisi milik Wulandari, tetapi ia ingin karyanya diakui. Namun apa
pantas jika ia mempertahankan egonya, dan menghancurkan harapan sahabatnya?
Sensasi lima puluh banding lima puluh menggerogotinya seperti penyakit menahun.
“Aku tidak keberatan kalau tidak ikut
lomba, Bu. Aku senang jika hanya Seruni yang ikut. Aku tahu sekali betapa indah
puisi miliknya. Jadi, walau tidak membawakan puisiku, aku ikhlas,” ujar
Wulandari, tulus. Matanya memang berkaca-kaca, namun bukan karena air mata
kesedihan. Ia benar-benar menyayangi sahabatnya. Seruni memandangnya penuh
arti. Sikap inilah yang membuat ia membuang kaca mata kesombongannya dan
memutuskan untuk bersahabat dengan Wulandari sejak kemarin dulu. Jika
bersamanya, ia merasa pulang.
“Aku bersedia berkolaborasi, Bu.”
Bu Eni tersenyum. Tanpa menunggu
lama, ia langsung bergegas ke meja panitia untuk mengkonfirmasi perubahan
formasi dari tim sekolahnya. Puisi yang telah Wulandari siapkan juga sudah
dibawanya untuk diserahkan ke panitia. Pak Iqbal yang sudah menerka hal ini
akan terjadi pun tersenyum puas. Ia paham Seruni bukanlah anak yang
semena-mena. Walau sedikit angkuh, sejak berteman dengan Wulandari, ia berubah
menjadi pribadi yang lebih baik. Dan ia mensyukuri perubahan dari anak yang sebenarnya
adalah keponakannya ini.
“Sudah kuduga, anak kakakku tidak
akan berbuat culas. Benar begitu, Pak Kepala Sekolah?” bisik Pak Iqbal.
“Iya,
aku sudah tahu. Itulah alasanku membawa Seruni ke sini. Selain untuk membuat Bu
Eni kesal tentunya. Hahahaha...” Pak Iqbal dan Kepala Sekolah tertawa
bersama-sama.
“Waaah... aku lega sekali, kau
tahu?”
Kini Bu Eni dan Pak Iqbal tengah
duduk berhadapan di kedai kopi dan teh langganan mereka. Suasana kali ini
sangat bagus, Bu Eni tak henti-hentinya tersenyum sepanjang hari. Perlombaan
puisi kemarin sangat berjasa mendatangkan kebahagiaan. Kolaborasi Wulandari-Seruni
sukses besar. Puisi milik Wulandari yang indah, dibacakan oleh Seruni yang
sangat pandai tampil di depan umum. Penampilan yang sempurna menjadikan mereka
juara. Otomatis mereka berdua akan maju ke perlombaan selanjutnya di tingkat
provinsi.
“Kamu kelihatan bahagia sekali. Tapi
aku tidak.”
Bu Eni berhenti tersenyum. Tidak
biasanya Pak Iqbal merajuk. Selama ini laki-laki itu selalu mendukung apa pun
yang ia lakukan juga rasakan.
“Apa yang membuatmu tidak bahagia?”
tanya Bu Eni, cemas.
“Kau mau tahu?” Pak Iqbal balas
bertanya.
“Katakanlah. Kau sangat lain hari
ini.”
“Hmm.. baiklah.. aku ragu kau masih
mau meneruskan permintaanmu kepadaku kemarin dulu. Ingat, saat kau memintaku
menikahimu? Aku sangsi kau tidak berminat melanjutkannya karena kau tidak jadi
dikeluarkan dari sekolah. Aku jadi khawatir pada penantianku sendiri, huh,”
jawab Pak Iqbal sambil membuang muka. Bu Eni pun tertawa. Sikap merajuk Pak
Iqbal sungguh membuatnya gemas, seakan sedang kembali ke masa-masa SMA mereka.
“Aku mau, kenapa pula harus menunda
lagi? Aku sadar sikapku sangat tidak baik dengan selalu menghindari
membicarakan masalah pernikahan. Padahal itu sudah seharusnya cepat-cepat
dibahas, mengingat aku sudah resmi menerima lamaranmu dua bulan lalu. Maafkan
aku, Mas Iqbal, hehehe...” balas Bu Eni. Pak Iqbal pun tersenyum. Sandiwaranya
berhasil.
“Hahahaha.. kau masuk perangkapku,
En. Aku tahu satu-satunya cara untuk membuatmu menikahiku adalah dengan merajuk
padamu. Aku jadi ragu pada umurku sekarang. Hahahaha...” ujar Pak Iqbal. Mata
Bu Eni melebar. Pak Iqbal kadang sering berkelakuan seperti anak kecil.
Pura-pura merajuk demi meraih hatinya. Namun kalau boleh jujur, hal itulah yang
membuatnya mau berteman dengan Pak Iqbal sejak pertemuan pertama mereka di SMA.
Ia sungguh yakin, harinya kelak bersama Pak Iqbal akan semakin berwarna.
“Baiklah, kalau begitu kapan kita
bisa menikah?” tanya Pak Iqbal.
“Terserah padamu saja,” jawab Bu
Eni. Keduanya pun tertawa. Kembali meninggalkan kenangan manis pada meja nomor
tujuh, yang beberapa menit lalu menjadi saksi dari rencana pernikahan
mereka.
*Selesai*