Panggungnya
kok besar sekali ya...
Beberapa menit lagi
adalah giliran Aisha naik panggung untuk menjadi pembicara pada seminar
jurnalistik di SMA-nya. Wajahnya sudah dirias cantik. Baju yang disiapkan
panitia untuknya pun tampak anggun dan manis dikenakannya. Jilbab panjang namun
modis menyempurnakan kecantikan gadis 16 tahun itu. Bulu matanya yang lentik
mempercantik parasnya, yang kini berkali-kali memejamkan mata menahan segala
keberanian yang nampaknya tengah melompat keluar meninggalkan raganya. Kalau
boleh jujur, ia grogi setengah mati, mengingat pertemuannya dengan Muhammad
Fachrullah dan kembarannya yang pandai tersenyum tadi pagi, yang tak terelakkan
lagi mereka akan duduk di antara ratusan penonton. Bagaimana kalau nanti ia
salah bicara? Apa ia rela mempermalukan dirinya sendiri?
“Aisha, satu menit lagi
giliranmu naik panggung. Kamu siap?” Erna, panitia, menghampirinya. Aisha pun
agak terperanjat karena sebelumnya ia sedang melamun. Menyadari Erna tengah
menunggu jawabannya, Aisha pun hanya mengangguk dan tersenyum. Erna ikut
mengangguk juga sambil menepuk bahu Aisha, dan memberi kode pada pembawa acara
untuk mempersilakan Aisha naik panggung.
“Inilah dia, teman kita, sahabat kita, seorang penulis muda berbakat
yang karyanya sudah diakui nasional, mari kita sambut, Aisha Nur Arsyi!”
Aisha melangkahkan
kakinya dengan percaya diri ke atas panggung. Keberaniannya yang sempat surut
kini tak terduga muncul kembali seratus persen. Ia tatap penonton yang hadir
untuk mempertegas keberaniannya lagi. Di barisan ketiga bangku penonton, ia
menemukan Alika dan teman-temannya yang lain. Mereka bertepuk tangan riuh, sama
persis ketika di TMII beberapa waktu lalu, saat ia mendapatkan penghargaan
pertamanya. Rasa haru pun mendadak menyerangnya.
“Assalamu’alaikum, Aisha. Selamat datang di acara talkshow seminar
jurnalistik ini. Kamu sungguh cantik, Aisha, aku jujur, hehe,” sapa Rasti, sang
moderator talkshow, membuka dengan sangat renyah. Dipuji seperti itu membuat
pipi Aisha memerah. Dari kelas satu dulu, Rasti memang terkenal pandai
berkata-kata, pantas saja ia ditunjuk panitia untuk menjadi moderator di sesi
talkshow ini.
“Wa’alaikumsalam, terima kasih atas pujianmu, Rasti. Hehehehe..”
balas Aisha, malu-malu. Rasti sang moderator pun memperkenalkan profil Aisha
kepada penonton melalui tayangan slide terlebih dahulu sebelum masuk ke inti
pembicaraan. Sambil menunggu sesi perkenalannya selesai, Aisha menyapu
pandangannya ke penonton. Kembali matanya tertancap pada satu titik, ke baris
kedua bagian kiri, ke arah Muhammad Fachrullah yang saat ini sedang sibuk
dengan ponselnya. Dalam hati Aisha sangat lega karena tak harus bertemu mata dengannya.
Namun saat pandangannya bergeser sedikit ke sebelah kanan, ia pun kaget karena
Muhammad Fauzan kini tengah menatapnya. Senyumannya seakan abadi, tanpa terduga
laki-laki itu malah melambai pada Aisha. Membuat jantungnya hampir melompat
saking terkejutnya. Namun perhatian Aisha langsung teralih ketika Rasti
memanggil namanya.
“Aisha, apa kabar?
Bagaimana perasaanmu bisa hadir di panggung ini?”
“Alhamdulillah aku baik.. hehe.. bisa hadir di panggung ini, tentu
saja aku merasa senang.”
“Umurmu baru enam belas
tahun, tapi sudah bisa menulis cerpen yang mampu menggegerkan kita semua,
rahasianya apa sih sehingga bisa
seperti itu? Apa ada jurus khusus begitu?”
“rahasia? Hmm.. tidak
ada yang spesial.. yang perlu dilakukan hanyalah mencurahkan kata hati dan
pikiran ke dalam sebuah tulisan.. tanpa memikirkan tulisan itu akan bagus atau
tidak, yang penting murni dari hati.. dan tentu saja banyak-banyak membaca sih hehehehe..”
Tepuk tangan menggema
di seluruh ruangan sehabis mendengar jawaban Aisha barusan. Walau cara
bicaranya masih terdengar kekanak-kanakan, namun arti yang tersimpan dari
kalimatnya sangat mengena. Itulah salah satu kelebihan dari Aisha Nur Arsyi.
“waah, bagus sekali
jawabannya, ya, hehehe.. oh iya, sebelum saya lanjutkan, talkshow kita kali ini
dengan Aisha memang tidak membahas mengenai jurnalistik sesuai nama dari
seminar ini sendiri, namun hal itu sengaja kami sajikan agar teman-teman semua
bisa terinspirasi untuk menulis seperti Aisha. Baiklah, kembali ke Aisha,
hehehe...
“Aisha, kalau boleh
tahu, siapa sih sebenarnya inspirasi
kamu dalam menulis? Siapa yang memberikan pengaruh paling banyak untukmu sehingga
bisa menghasilkan tulisan sebagus itu?” tanya Rasti lagi. Aisha tidak langsung
menjawab. Ia hanya memejamkan matanya, menahan buncahan perasaan yang terpaksa
meletup karena kenangan mengenai almarhum ayahnya muncul kembali.
“Inspirasi.. aku
terpengaruh oleh ayahku sendiri.. beliau memang bukan penulis, namun beliau
selalu menyempatkan dirinya untuk membaca karya-karyaku seperti cerpen dan
puisi saat kecil dulu.. memberikan masukan, pujian, bahkan kritikan yang
membangun.. kurasa tak ada lagi kalimat yang pantas untuk mendeskripsikan jasa
beliau dalam menjadikanku seperti sekarang ini.. namun, selain beliau, masih
ada lagi yang memberikan pengaruh besar untukku..” jeda sejenak, Aisha menarik
napas, mengumpulkan ingatannya. “Selain ayah, aku termotivasi oleh seseorang
yang bahkan nama aslinya saja aku tidak tahu.. dia adalah sang penulis cerbung
mading di SMP ku dulu..”
Jawaban Aisha barusan
sukses membuat Fauzan tertegun. Penulis cerbung mading di SMP dulu? Berarti... Ia pun menegakkan duduknya
untuk sekedar mengambil napas dalam-dalam. Jantungnya berdegup lebih cepat dari
biasanya. Ia lirik Arul di sampingnya. Ekspresinya masih datar seperti biasa.
Membuat Fauzan lebih lega.. lega sedikit..
Seminar jurnalistik
berakhir dengan sukses. Efek dari kedua pembicara, yaitu Mas Rangga dan Aisha
seakan masih menjadi topik pembicaraan hangat dari setiap peserta seminar yang
kini tengah berbondong-bondong menuju pintu keluar aula acara. Tidak termasuk
Arul tapinya. Kini ia tengah sibuk membuntuti seseorang yang memiliki ciri-ciri
yang sama dengan pelaku pemukulan adiknya, Agus Hendrawan. Lelaki itu berjalan
sangat cepat menerobos antrian.
“Agus.. Hendrawan? kamu
Agus Hendrawan, kan?” orang yang dipanggil Agus Hendrawan itu pun berbalik, dan
spontan matanya terbelalak melihat Arul sudah ada di belakangnya. Kaleng
minuman yang baru saja dibelinya pun jatuh, menumpahkan hampir setengah dari
isinya. Melihat sikap Agus itu membuat Arul ikut kaget juga. Namun buru-buru ia
kuasai keterkejutannya dan memulai percakapan, sekedar mengumpulkan
informasi...
“Elo.. elo Arul, kan?
Kakaknya Fauzan?” tanya balik Agus. Jari-jarinya bergerak gelisah. Kemiripan
Fauzan dan Arul hampir tanpa cela, kecuali gaya rambut dan cara berbicara
mereka. Saat pertama Arul menegurnya tadi, sesaat ia merasa takut.. ia kira
yang menepuk bahunya adalah Fauzan.. teman SMP-nya..
“Iya, saya Arul. Fauzan
juga ada di sini ikut menonton seminar, kamu sudah bertemu dengannya?” Arul
memancing. Ia ingin memastikan kecurigaannya. Ternyata sesuai dugaan, Agus
malah makin grogi ketika ia menyebut nama Fauzan. Satu potong puzzle sudah terpasang...
“Aah.. Fauzan.. gue
belom ketemu dia.. tapi sorry nih,
gue buru-buru banget jadi gak bisa ngobrol lama-lama.. ya udah, Rul, gue duluan
deh ya.. Assalamu’alaikum..” ujar
Agus, tanpa menunggu jawaban salam dari Arul, dia langsung berbalik dan pergi.
Arul pun hanya menjawab salamnya sambil terus memandangi punggung Agus yang
makin menjauh, tanpa menyadari kehadiran Fauzan yang tengah berdiri di
sampingnya.
“Dia Agus, kan? Kok
buru-buru begitu, malah enggak nyapa aku lagi..” Arul spontan menoleh dan kaget
setengah mati melihat Fauzan sudah di sampingnya. Adiknya memang masih
mengenali Agus, namun ia sama sekali tidak bisa mengingat tentang kejadian
pemukulannya itu karena luka benturan di kepalanya. Akibat kejadian itu pun
kini Fauzan harus berjalan dengan bantuan tongkat. Lebih parahnya lagi,
ingatannya menjadi tidak stabil, juga terkadang sulit berbicara jika keadaan
hatinya sedang tidak tenang. Semacam efek trauma. Jika boleh jujur Arul sangat
marah kepada siapa saja yang menyebabkan adiknya seperti ini, namun ia harus
tetap berkepala dingin.. tidak boleh mudah terbawa emosi.. dan kembali menjadi
Arul yang dulu.. Arul yang dulu..
“Dia bilang ada
urusan.. makanya buru-buru.. ya sudah, Zan, lebih baik kita pulang sekarang.
Kamu pasti sudah lelah sekali..”
Diajak pulang oleh
kakaknya membuat Fauzan bimbang. Sebenarnya ia ingin sekali kembali ke dalam
dan menemui Aisha, sekedar untuk memberi selamat atas penampilannya tadi. Arul
pun nampaknya paham apa yang sedang dipikirkan adiknya.
“Kamu mau ke dalam
lagi, ketemu Aisha?” tanya Arul. Sekuat mungkin menyembunyikan keinginannya
untuk menemui Aisha juga. Fauzan setuju, dan mereka berdua langsung kembali ke
sekolah. Namun ketika baru sampai gerbang, langkah mereka terhenti. Aisha dan
Agus Hendrawan kini tengah berbicara serius, di jarak pendengaran mereka.
“Kamu itu kemana saja
selama ini? Memangnya enggak sadar kalau ibu dan adikmu itu khawatir setengah
mati? Di mana pikiranmu, hah?!” serang Aisha, pada laki-laki di depannya, yang
walau sedang dimarahi masih saja senyum-senyum. “Kamu enggak perlu
senyum-senyum!”
“Aku enggak
kemana-mana, kok, Ca. Hanya ingin mendinginkan pikiran..” jawab Agus, kalem.
Jawabannya itu sukses membuat Aisha melotot sambil berkacak pinggang.
Pemandangan itu merupakan sesuatu yang baru bagi si kembar Arul dan Fauzan,
yang selama ini tidak pernah sekali pun melihat Aisha marah-marah.
“Aku enggak mau tahu,
kamu harus pulang sekarang juga! Kalau sampai enggak pulang lagi, jangan anggap
aku pernah kenal kamu!” Aisha benar-benar kesal, terlebih orang yang sedang
dimarahinya saat ini bukannya merenung malah terus senyum-senyum dari tadi. Namun
ketika ia membuang muka, matanya langsung tertancap pada sosok kembar tak jauh
dari tempatnya berdiri. Mendadak wajahnya memerah.. malu..
“Hai, Aisha!” sapa
Fauzan, dengan senyumannya yang lebar, sambil berjalan pincang menghampiri
gadis itu. “Wah, ada Agus juga! Sudah lama enggak ketemu, bro!”. Senyuman di wajah Agus hilang, digantikan oleh ketegangan.
Terlebih saat melihat wajah Arul yang sama sekali tidak bersahabat. Di antara
keempat orang itu, apabila diakumulasikan terdapat tiga wajah tegang, dan satu
wajah bahagia luar biasa..
“Fauzan kenal Agus
juga?” tanya Aisha, masih terkejut dengan kehadiran tiba-tiba dari dua
bersaudara itu. Agus pun makin tegang wajahnya. Selain takut melihat tampang
Arul, ia juga tidak suka kalau Aisha berbicara dengan pria lain. Walau dari
dulu ia selalu ditolak oleh gadis itu, namun tetap saja..
“Iya, Agus itu temanku.
Aku juga kaget kalau kalian ternyata saling kenal. Dunia ini memang sempit, ya?
Ahahahaha,” Fauzan tertawa lepas, tidak menyadari ketegangan yang meradang di
sekitarnya. “Oh, ya, Gus. Elo kok enggak pernah jenguk gue? Enggak khawatir
sama temen lo yang lagi babak belur gini?”
“a.. gu.. gue.. gue
sibuk, Zan.. maaf.. lagian gue lupa rumah lo di mana..” jawab Agus, ia sangat
gugup saat menghindari tatapan tajam Arul. Melihat kedekatan mereka, Aisha pun
tersenyum. Ia senang mengetahui sahabat masa kecilnya yang terkenal sangat
galak dan tidak bersahabat dengan orang lain, kini memiliki teman juga. Apalagi
temannya adalah kembaran Kang Arul..
“Gaya banget lo pake
segala sibuk segala.. payah ah.. ya udah, sekarang lo udah liat kan kondisi
gue? Pokoknya enggak mau tau, gue mau lo ikut ke rumah gue sekarang..” bujuk
Fauzan, pura-pura merajuk. Arul pun menaikkan sebelah alisnya. Ia penasaran
jawaban apa yang akan diberikan Agus, apakah ia akan terus menyangkal?
“Sorry, Zan.. gue enggak bisa.. gue udah punya agenda lain abis
ini.. maaf banget..” sangkal Agus, tanpa berani memandang wajah Fauzan. “Kalo
gitu gue duluan deh, ya.. takut telat.. Ica, aku pergi dulu, Insya Allah aku
pulang nanti malam, salam buat ibu dan Zahra, ya.. makasih sudah jagain mereka
selama ini..”
Setelah berpamitan,
Agus pun pergi. Aisha hendak undur diri juga, namun segera dicegah oleh Fauzan.
Dalam hati Arul membatin, kelakuan adiknya ini sungguh berani. Sebenarnya ia
selalu khawatir kalau Fauzan akan bertindak terlalu jauh. Ia tentu mengizinkan
adiknya untuk menaruh perasaan pada seorang gadis, namun tak pernah bosan ia
ingatkan Fauzan untuk menghindari kontak fisik. Karena baru saja Arul bersiap
untuk menepis tangan Fauzan saat ia hendak mencegah kepergian Aisha dengan
menahan tangannya..
“Ada apa, Fauzan? Aku
mau kembali ke dalam untuk mengambil tas dan langsung pulang..” ujar Aisha.
Fauzan pun tersenyum malu sambil menggaruk belakang kepalanya. Selama beberapa
detik mereka tidak berbicara, sibuk dalam proses perangkaian kata-kata.
Menghirup udara keheningan ini membuat Arul sulit bernapas.
“Penampilanmu tadi
bagus sekali, selamat.. Aisha..” ujar Arul, tanpa terduga, memacu degup jantung
tak beraturan lagi dalam dada Aisha. Gadis itu hanya tersenyum sambil
menyilangkan tangan kanannya di dada, dan mengangguk sopan seraya mengucap
terima kasih.
“Terima kasih banyak..
tapi tetap saja aku ini masih banyak kekurangannya..” balas Aisha. Kembali
hening menyelimuti mereka. Akhirnya karena merasa tak ada alasan lagi untuk
berlama-lama, Aisha benar-benar undur diri. Fauzan masih bungkam. Arul
mati-matian menyembunyikan wajahnya yang ternyata mulai memerah..
“Selamat
untukmu.. aku bangga..” batin Arul, sambil berbalik dan
memapah adiknya berjalan menuju lapangan parkir tempat mobil mereka menunggu.
*Bersambung*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar