Minggu, 05 Mei 2013

Cerbung - Heaven (part 5)


Panggungnya kok besar sekali ya...
Beberapa menit lagi adalah giliran Aisha naik panggung untuk menjadi pembicara pada seminar jurnalistik di SMA-nya. Wajahnya sudah dirias cantik. Baju yang disiapkan panitia untuknya pun tampak anggun dan manis dikenakannya. Jilbab panjang namun modis menyempurnakan kecantikan gadis 16 tahun itu. Bulu matanya yang lentik mempercantik parasnya, yang kini berkali-kali memejamkan mata menahan segala keberanian yang nampaknya tengah melompat keluar meninggalkan raganya. Kalau boleh jujur, ia grogi setengah mati, mengingat pertemuannya dengan Muhammad Fachrullah dan kembarannya yang pandai tersenyum tadi pagi, yang tak terelakkan lagi mereka akan duduk di antara ratusan penonton. Bagaimana kalau nanti ia salah bicara? Apa ia rela mempermalukan dirinya sendiri?
“Aisha, satu menit lagi giliranmu naik panggung. Kamu siap?” Erna, panitia, menghampirinya. Aisha pun agak terperanjat karena sebelumnya ia sedang melamun. Menyadari Erna tengah menunggu jawabannya, Aisha pun hanya mengangguk dan tersenyum. Erna ikut mengangguk juga sambil menepuk bahu Aisha, dan memberi kode pada pembawa acara untuk mempersilakan Aisha  naik panggung.
Inilah dia, teman kita, sahabat kita, seorang penulis muda berbakat yang karyanya sudah diakui nasional, mari kita sambut, Aisha Nur Arsyi!”
Aisha melangkahkan kakinya dengan percaya diri ke atas panggung. Keberaniannya yang sempat surut kini tak terduga muncul kembali seratus persen. Ia tatap penonton yang hadir untuk mempertegas keberaniannya lagi. Di barisan ketiga bangku penonton, ia menemukan Alika dan teman-temannya yang lain. Mereka bertepuk tangan riuh, sama persis ketika di TMII beberapa waktu lalu, saat ia mendapatkan penghargaan pertamanya. Rasa haru pun mendadak menyerangnya.
Assalamu’alaikum, Aisha. Selamat datang di acara talkshow seminar jurnalistik ini. Kamu sungguh cantik, Aisha, aku jujur, hehe,” sapa Rasti, sang moderator talkshow, membuka dengan sangat renyah. Dipuji seperti itu membuat pipi Aisha memerah. Dari kelas satu dulu, Rasti memang terkenal pandai berkata-kata, pantas saja ia ditunjuk panitia untuk menjadi moderator di sesi talkshow ini.
Wa’alaikumsalam, terima kasih atas pujianmu, Rasti. Hehehehe..” balas Aisha, malu-malu. Rasti sang moderator pun memperkenalkan profil Aisha kepada penonton melalui tayangan slide terlebih dahulu sebelum masuk ke inti pembicaraan. Sambil menunggu sesi perkenalannya selesai, Aisha menyapu pandangannya ke penonton. Kembali matanya tertancap pada satu titik, ke baris kedua bagian kiri, ke arah Muhammad Fachrullah yang saat ini sedang sibuk dengan ponselnya. Dalam hati Aisha sangat lega karena tak harus bertemu mata dengannya. Namun saat pandangannya bergeser sedikit ke sebelah kanan, ia pun kaget karena Muhammad Fauzan kini tengah menatapnya. Senyumannya seakan abadi, tanpa terduga laki-laki itu malah melambai pada Aisha. Membuat jantungnya hampir melompat saking terkejutnya. Namun perhatian Aisha langsung teralih ketika Rasti memanggil namanya.
“Aisha, apa kabar? Bagaimana perasaanmu bisa hadir di panggung ini?”
Alhamdulillah aku baik.. hehe.. bisa hadir di panggung ini, tentu saja aku merasa senang.”
“Umurmu baru enam belas tahun, tapi sudah bisa menulis cerpen yang mampu menggegerkan kita semua, rahasianya apa sih sehingga bisa seperti itu? Apa ada jurus khusus begitu?”
“rahasia? Hmm.. tidak ada yang spesial.. yang perlu dilakukan hanyalah mencurahkan kata hati dan pikiran ke dalam sebuah tulisan.. tanpa memikirkan tulisan itu akan bagus atau tidak, yang penting murni dari hati.. dan tentu saja banyak-banyak membaca sih hehehehe..”
Tepuk tangan menggema di seluruh ruangan sehabis mendengar jawaban Aisha barusan. Walau cara bicaranya masih terdengar kekanak-kanakan, namun arti yang tersimpan dari kalimatnya sangat mengena. Itulah salah satu kelebihan dari Aisha Nur Arsyi.
“waah, bagus sekali jawabannya, ya, hehehe.. oh iya, sebelum saya lanjutkan, talkshow kita kali ini dengan Aisha memang tidak membahas mengenai jurnalistik sesuai nama dari seminar ini sendiri, namun hal itu sengaja kami sajikan agar teman-teman semua bisa terinspirasi untuk menulis seperti Aisha. Baiklah, kembali ke Aisha, hehehe...
“Aisha, kalau boleh tahu, siapa sih sebenarnya inspirasi kamu dalam menulis? Siapa yang memberikan pengaruh paling banyak untukmu sehingga bisa menghasilkan tulisan sebagus itu?” tanya Rasti lagi. Aisha tidak langsung menjawab. Ia hanya memejamkan matanya, menahan buncahan perasaan yang terpaksa meletup karena kenangan mengenai almarhum ayahnya muncul kembali.
“Inspirasi.. aku terpengaruh oleh ayahku sendiri.. beliau memang bukan penulis, namun beliau selalu menyempatkan dirinya untuk membaca karya-karyaku seperti cerpen dan puisi saat kecil dulu.. memberikan masukan, pujian, bahkan kritikan yang membangun.. kurasa tak ada lagi kalimat yang pantas untuk mendeskripsikan jasa beliau dalam menjadikanku seperti sekarang ini.. namun, selain beliau, masih ada lagi yang memberikan pengaruh besar untukku..” jeda sejenak, Aisha menarik napas, mengumpulkan ingatannya. “Selain ayah, aku termotivasi oleh seseorang yang bahkan nama aslinya saja aku tidak tahu.. dia adalah sang penulis cerbung mading di SMP ku dulu..”
Jawaban Aisha barusan sukses membuat Fauzan tertegun. Penulis cerbung mading di SMP dulu? Berarti... Ia pun menegakkan duduknya untuk sekedar mengambil napas dalam-dalam. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia lirik Arul di sampingnya. Ekspresinya masih datar seperti biasa. Membuat Fauzan lebih lega.. lega sedikit..
Seminar jurnalistik berakhir dengan sukses. Efek dari kedua pembicara, yaitu Mas Rangga dan Aisha seakan masih menjadi topik pembicaraan hangat dari setiap peserta seminar yang kini tengah berbondong-bondong menuju pintu keluar aula acara. Tidak termasuk Arul tapinya. Kini ia tengah sibuk membuntuti seseorang yang memiliki ciri-ciri yang sama dengan pelaku pemukulan adiknya, Agus Hendrawan. Lelaki itu berjalan sangat cepat menerobos antrian.
“Agus.. Hendrawan? kamu Agus Hendrawan, kan?” orang yang dipanggil Agus Hendrawan itu pun berbalik, dan spontan matanya terbelalak melihat Arul sudah ada di belakangnya. Kaleng minuman yang baru saja dibelinya pun jatuh, menumpahkan hampir setengah dari isinya. Melihat sikap Agus itu membuat Arul ikut kaget juga. Namun buru-buru ia kuasai keterkejutannya dan memulai percakapan, sekedar mengumpulkan informasi...
“Elo.. elo Arul, kan? Kakaknya Fauzan?” tanya balik Agus. Jari-jarinya bergerak gelisah. Kemiripan Fauzan dan Arul hampir tanpa cela, kecuali gaya rambut dan cara berbicara mereka. Saat pertama Arul menegurnya tadi, sesaat ia merasa takut.. ia kira yang menepuk bahunya adalah Fauzan.. teman SMP-nya..
“Iya, saya Arul. Fauzan juga ada di sini ikut menonton seminar, kamu sudah bertemu dengannya?” Arul memancing. Ia ingin memastikan kecurigaannya. Ternyata sesuai dugaan, Agus malah makin grogi ketika ia menyebut nama Fauzan. Satu potong puzzle sudah terpasang...
“Aah.. Fauzan.. gue belom ketemu dia.. tapi sorry nih, gue buru-buru banget jadi gak bisa ngobrol lama-lama.. ya udah, Rul, gue duluan deh ya.. Assalamu’alaikum..” ujar Agus, tanpa menunggu jawaban salam dari Arul, dia langsung berbalik dan pergi. Arul pun hanya menjawab salamnya sambil terus memandangi punggung Agus yang makin menjauh, tanpa menyadari kehadiran Fauzan yang tengah berdiri di sampingnya.
“Dia Agus, kan? Kok buru-buru begitu, malah enggak nyapa aku lagi..” Arul spontan menoleh dan kaget setengah mati melihat Fauzan sudah di sampingnya. Adiknya memang masih mengenali Agus, namun ia sama sekali tidak bisa mengingat tentang kejadian pemukulannya itu karena luka benturan di kepalanya. Akibat kejadian itu pun kini Fauzan harus berjalan dengan bantuan tongkat. Lebih parahnya lagi, ingatannya menjadi tidak stabil, juga terkadang sulit berbicara jika keadaan hatinya sedang tidak tenang. Semacam efek trauma. Jika boleh jujur Arul sangat marah kepada siapa saja yang menyebabkan adiknya seperti ini, namun ia harus tetap berkepala dingin.. tidak boleh mudah terbawa emosi.. dan kembali menjadi Arul yang dulu.. Arul yang dulu..
“Dia bilang ada urusan.. makanya buru-buru.. ya sudah, Zan, lebih baik kita pulang sekarang. Kamu pasti sudah lelah sekali..”
Diajak pulang oleh kakaknya membuat Fauzan bimbang. Sebenarnya ia ingin sekali kembali ke dalam dan menemui Aisha, sekedar untuk memberi selamat atas penampilannya tadi. Arul pun nampaknya paham apa yang sedang dipikirkan adiknya.
“Kamu mau ke dalam lagi, ketemu Aisha?” tanya Arul. Sekuat mungkin menyembunyikan keinginannya untuk menemui Aisha juga. Fauzan setuju, dan mereka berdua langsung kembali ke sekolah. Namun ketika baru sampai gerbang, langkah mereka terhenti. Aisha dan Agus Hendrawan kini tengah berbicara serius, di jarak pendengaran mereka.
“Kamu itu kemana saja selama ini? Memangnya enggak sadar kalau ibu dan adikmu itu khawatir setengah mati? Di mana pikiranmu, hah?!” serang Aisha, pada laki-laki di depannya, yang walau sedang dimarahi masih saja senyum-senyum. “Kamu enggak perlu senyum-senyum!”
“Aku enggak kemana-mana, kok, Ca. Hanya ingin mendinginkan pikiran..” jawab Agus, kalem. Jawabannya itu sukses membuat Aisha melotot sambil berkacak pinggang. Pemandangan itu merupakan sesuatu yang baru bagi si kembar Arul dan Fauzan, yang selama ini tidak pernah sekali pun melihat Aisha marah-marah.
“Aku enggak mau tahu, kamu harus pulang sekarang juga! Kalau sampai enggak pulang lagi, jangan anggap aku pernah kenal kamu!” Aisha benar-benar kesal, terlebih orang yang sedang dimarahinya saat ini bukannya merenung malah terus senyum-senyum dari tadi. Namun ketika ia membuang muka, matanya langsung tertancap pada sosok kembar tak jauh dari tempatnya berdiri. Mendadak wajahnya memerah.. malu..
“Hai, Aisha!” sapa Fauzan, dengan senyumannya yang lebar, sambil berjalan pincang menghampiri gadis itu. “Wah, ada Agus juga! Sudah lama enggak ketemu, bro!”. Senyuman di wajah Agus hilang, digantikan oleh ketegangan. Terlebih saat melihat wajah Arul yang sama sekali tidak bersahabat. Di antara keempat orang itu, apabila diakumulasikan terdapat tiga wajah tegang, dan satu wajah bahagia luar biasa..
“Fauzan kenal Agus juga?” tanya Aisha, masih terkejut dengan kehadiran tiba-tiba dari dua bersaudara itu. Agus pun makin tegang wajahnya. Selain takut melihat tampang Arul, ia juga tidak suka kalau Aisha berbicara dengan pria lain. Walau dari dulu ia selalu ditolak oleh gadis itu, namun tetap saja..
“Iya, Agus itu temanku. Aku juga kaget kalau kalian ternyata saling kenal. Dunia ini memang sempit, ya? Ahahahaha,” Fauzan tertawa lepas, tidak menyadari ketegangan yang meradang di sekitarnya. “Oh, ya, Gus. Elo kok enggak pernah jenguk gue? Enggak khawatir sama temen lo yang lagi babak belur gini?”
“a.. gu.. gue.. gue sibuk, Zan.. maaf.. lagian gue lupa rumah lo di mana..” jawab Agus, ia sangat gugup saat menghindari tatapan tajam Arul. Melihat kedekatan mereka, Aisha pun tersenyum. Ia senang mengetahui sahabat masa kecilnya yang terkenal sangat galak dan tidak bersahabat dengan orang lain, kini memiliki teman juga. Apalagi temannya adalah kembaran Kang Arul..
“Gaya banget lo pake segala sibuk segala.. payah ah.. ya udah, sekarang lo udah liat kan kondisi gue? Pokoknya enggak mau tau, gue mau lo ikut ke rumah gue sekarang..” bujuk Fauzan, pura-pura merajuk. Arul pun menaikkan sebelah alisnya. Ia penasaran jawaban apa yang akan diberikan Agus, apakah ia akan terus menyangkal?
Sorry, Zan.. gue enggak bisa.. gue udah punya agenda lain abis ini.. maaf banget..” sangkal Agus, tanpa berani memandang wajah Fauzan. “Kalo gitu gue duluan deh, ya.. takut telat.. Ica, aku pergi dulu, Insya Allah aku pulang nanti malam, salam buat ibu dan Zahra, ya.. makasih sudah jagain mereka selama ini..”
Setelah berpamitan, Agus pun pergi. Aisha hendak undur diri juga, namun segera dicegah oleh Fauzan. Dalam hati Arul membatin, kelakuan adiknya ini sungguh berani. Sebenarnya ia selalu khawatir kalau Fauzan akan bertindak terlalu jauh. Ia tentu mengizinkan adiknya untuk menaruh perasaan pada seorang gadis, namun tak pernah bosan ia ingatkan Fauzan untuk menghindari kontak fisik. Karena baru saja Arul bersiap untuk menepis tangan Fauzan saat ia hendak mencegah kepergian Aisha dengan menahan tangannya..
“Ada apa, Fauzan? Aku mau kembali ke dalam untuk mengambil tas dan langsung pulang..” ujar Aisha. Fauzan pun tersenyum malu sambil menggaruk belakang kepalanya. Selama beberapa detik mereka tidak berbicara, sibuk dalam proses perangkaian kata-kata. Menghirup udara keheningan ini membuat Arul sulit bernapas.
“Penampilanmu tadi bagus sekali, selamat.. Aisha..” ujar Arul, tanpa terduga, memacu degup jantung tak beraturan lagi dalam dada Aisha. Gadis itu hanya tersenyum sambil menyilangkan tangan kanannya di dada, dan mengangguk sopan seraya mengucap terima kasih.
“Terima kasih banyak.. tapi tetap saja aku ini masih banyak kekurangannya..” balas Aisha. Kembali hening menyelimuti mereka. Akhirnya karena merasa tak ada alasan lagi untuk berlama-lama, Aisha benar-benar undur diri. Fauzan masih bungkam. Arul mati-matian menyembunyikan wajahnya yang ternyata mulai memerah..
“Selamat untukmu.. aku bangga..” batin Arul, sambil berbalik dan memapah adiknya berjalan menuju lapangan parkir tempat mobil mereka menunggu.
*Bersambung*


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar