Aku ingin jadi malam.. yang mampu membuaimu sampai tertidur juga terlelap pada gelapnya malam...
Kalimat itu, muncul begitu saja di kepala Aisha. Kala itu ia hanya duduk termangu di meja komputernya, sembari mengulang kembali kejadian siang tadi di sekolah...
Muhammad Fachrullah...
Nama itu kembali terngiang. Aisha menggeleng-gelengkan kepalanya sekeras mungkin agar ia sadar. Pasti ini pengaruh dari kualitas tidurnya yang sangat buruk akhir-akhir ini, sehingga pikirannya sering melayang tak jelas ke mana-mana. Ia pun memutuskan bangkit dari kursi perenungannya, dan ke kamar mandi untuk cuci muka. Tak lama kemudian, terdengar suara lembut ibunya dari luar kamar.
"Aisha! Zahra adikmu, datang mencarimu!"
"Iya, Bu! Aisha segera keluar!"
Buru-buru ia keringkan wajahnya dengan handuk, lalu keluar kamar. Di ruang tamu, duduk seorang gadis manis berusia 10 tahun, Zahrawati namanya. Ia adalah tetangga Aisha, yang sudah dianggap keluarga olehnya.
"
Assalamu'alaikum, anak cantik. Tumben sekali malam-malam main ke sini?" sapa Aisha, membuat Zahra menoleh dan langsung menghambur memeluk gadis yang sudah ia anggap kakak sendiri ini. "Eits, kenapa
toh langsung nyerbu aku begini?"
Zahra masih memeluk Aisha dengan erat. Walau sedikit heran, Aisha memutuskan untuk tidak bertanya dulu perihal kelakuan adiknya ini sampai ia sendiri yang mengutarakan maksudnya. Aisha pun menggiring Zahra duduk, dan menghadapkan wajahnya pada wajah gadis mungil itu.
"Zahra, kamu kenapa?" tanya Aisha penuh kelembutan. Matanya yang jernih menembus mata indah nan suci milik Zahra. Gadis kecil itu tidak langsung menjawab. Nampaknya ia masih menikmati beningnya tatapan Aisha.
"Kak Agus.. kabur lagi dari rumah, Kak Ica. Ibu di rumah sakit-sakitan. Cuma aku dan ibu yang ada di rumah. Aku takut, Kak Ica..." jawab Zahra. Matanya mulai berkaca-kaca. Kakaknya yang bernama Agus memang terkenal bandel. Sering berkelahi dan kabur dari rumah. Kejadian seperti ini bukanlah yang pertama kali. Seperti biasa, Aisha memutuskan untuk menginap di rumah Zahra untuk menemani sekaligus merawat ibunya yang sakit.
"Ya sudah kakak temani kamu lagi, ya? sekalian kita beli obat buat ibumu, gimana?"
Zahra mendadak riang dan mencium tangan Aisha. Air matanya kini tak bercucuran lagi. Setelah mengemas seragam sekolah dan perlengkapan lainnya yang akan dipakainya besok pagi, Aisha pun pamit pada ibunya, dan mengantar Zahra pulang ke rumah.
***
Malam sudah sampai pada pukul setengah sembilan. Muhammad Fachrullah, atau yang sudah biasa disapa Arul, masih dalam perjalanan dari Masjid menuju rumahnya. Jalanan sangat becek pasca hujan deras sore tadi. Memaksanya berjalan sambil menyingkap sedikit sarungnya yang hampir pasrah terkena cipratan lumpur merah. Tak lama kemudian, ia pun sampai di rumahnya yang terletak persis di tengah-tengah desa.
"Assalamu'alaikum!"
Terdengar suara jawaban salam dari dalam rumah. Arul pun masuk. Di ruang tamu, ada kedua orang tuanya yang sedang asyik berdiskusi mengenai acara televisi. Obrolan mereka pun terhenti ketika melihat anak pertamanya masuk.
"Kenapa pulangnya cepat sekali, Nak? memang tidak ada pengajian? biasanya kamu kan pulang jam sembilan malam." tanya ayahnya.
"Pengajian tetap ada, Yah. Hanya dipersingkat saja karena Ustadz-nya tiba-tiba ada urusan.." jawab Arul. "Oh, iya. Fauzan sudah tidur?"
Tiba-tiba, suara yang mirip sekali dengan suara Arul pun menyahut dari dalam ruangan sebelah ruang tamu. Itu suara Fauzan, adik Arul. Tepatnya, adik kembarnya.
"Ayah, Ibu, saya permisi masuk dulu.." pamit Arul dan kemudian undur diri.
Arul masuk ke kamar adiknya, yang ternyata sedang berbaring. Terpaksa berbaring karena ia memang tidak bisa bergerak bebas apalagi beranjak dari tempat tidur. Kaki, tangan, dan kepalanya masih dibebat dengan perban. Jujur saja Arul sangat miris melihat kondisi adik kembarnya yang sudah seperti ini sejak beberapa lama yang lalu karena dikeroyok oleh teman-teman sepermainannya. Motif sebenarnya dari pemukulan itu belum terungkap, karena Fauzan sendiri belum bisa memberikan keterangan yang lengkap mengenai kasusnya karena kondisinya yang membuatnya sulit mengingat kejadian itu.
"Cerpen Aisha jadi terbaik se-Indonesia loh.. kamu tahu?" awalnya Arul ingin berbasa-basi sedikit untuk memulai percakapan mengenai Aisha dengan adiknya, namun entah mengapa lidahnya terasa kelu. Fauzan yang tadinya terlihat lemas pun mendadak seperti mendapat kembali kekuatannya.
"Serius? Alhamdulillah... aku senang dengernya! oh, iya, kamu bawa enggak cerpennya dia?" Arul pun mengambil lembara-lembaran kertas berisi cerpen Aisha dari atas meja belajarnya, dan memberikannya pada Fauzan untuk dibaca.
Beberapa menit kemudian, Fauzan selesai membaca dan langsung terdiam sambil memejamkan matanya, dan mendekap kertas cerpennya di dadanya. Seperti sedang menghayati. Oh, Iya, sekedar info, Fauzan adalah penggemar Aisha sejak mereka bertemu di SMP dulu... dan hal itulah yang selama ini membuat Arul gundah. Ia selalu bertanya-tanya dalam hati, mengapa ia bisa menyukai orang yang sama dengan adik kembarnya? apakah karena mereka memang.. kembar?
"Bagus sekali tulisan ini.. indah.. aku enggak sabar mau masuk sekolah, dan ketemu sama dia di kelas lagi.. bahkan kalau boleh jujur, aku bersyukur pernah enggak naik kelas ketika SMP dulu.. sehingga bisa seangkatan, dan bahkan sekelas dengannya seperti sekarang ini.." ujar Fauzan. Arul memaksakan senyumnya yang biasa. Ia senang adiknya bisa kembali bersemangat setelah membaca cerpen itu, namun di sisi lain... entahlah... ia tidak berani memikirkannya...
"Ya sudah kalau begitu, kamu harus banyak-banyak istirahat supaya cepat sehat dan kembali ke sekolah. Kalau kamu bolos terus seperti ini, aku khawatir Aisha akan jatuh ke pelukan orang lain. Hahahahaha..." Arul menggoda adiknya, yang langsung melotot dan melempar bantal padanya.
"Enggak mungkin dia jatuh ke pelukan orang lain! karena dia sudah ditakdirkan sama aku! huahahaha!" balas Fauzan penuh kemenangan. Arul pun hanya terkekeh sambil keluar kamar adiknya. Ketika sudah di luar, wajah cerianya kembali muram. Ia tidak tahu sejak kapan ia pandai bermain peran seperti ini...