Sabtu, 05 November 2011

Kebudayaan Candi di Indonesia



NAMA  : AMANDA DWI PRAHARANI
                                                                KELAS    : 1EA02
                                                                NPM      : 10211657

Berbicara tentang kebudayaan Indonesia, maka tak cukup hanya dengan satu atau beberapa goretan tinta saja. Jika diibaratkan dengan sebuah kertas, Indonesialah yang akan menjadi tinta-tinta berwarna yang menghiasi kertas putihnya. Sangat kaya dan beraneka ragam. Dalam bidang kebudayaan, Indonesia akan menyabet posisi tinggi di peringkat dunia.
                Sejarah mengatakan, Indonesia pernah menjadi primadona dalam dunia perdagangan di masal lampau. Banyak bangsa lain yang berbondong-bondong mengunjungi negara ini. Mulai dari urusan perdagangan, sampai dengan barter ilmu pengetahuan. Pengaruh dari bangsa asing itu tentu saja mempengaruhi kebudayaan rakyat setempat. Sedikit demi sedikit terjadilah akulturasi antara budaya lokal dengan budaya asing. Itu terbukti dari bukti-bukti sejarah yang menunjukkan bahwa adanya percampuran antar budaya, salah satu contohnya adalah bangunan-bangunan candi di Indonesia yang mengikuti corak agama Hindu dan Budha, namun tetap memiliki ciri khas tersendiri yang tak bisa ditemukan pada bangunan candi di negara asalnya. Itulah sebabnya Indonesia kaya akan kebudayaan yang unik.
                Salah satu contoh kebudayaan lokal yang masih menjadi primadona dalam dunia pariwisata dewasa ini adalah Candi. Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa candi yang berada di Indonesia memiliki corak tersendiri yang membuatnya unik. Bahkan banyak yang mengatakan bahwa candi di negara kita lebih indah daripada candi-candi di negara lain. Candi di Indonesia memiliki nilai seni yang sangat tinggi. Perpaduan antara budaya luar dengan kemampuan luar biasa arsitek Indonesia di masa lampau, menunjukkan betapa cemerlangnya keahlian seniman-seniman asal Indonesia.
                Dalam kebudayaan Hindu Buddha, candi merupakan wujud kebudayaan yang paling diagungkan. Masyarakat Hindu Budha membangun candi untuk dijadikan sebagai tempat pemujaan kepada dewa-dewa, dan juga kuburan bagi raja-raja. Candi sendiri berasal dari kata Candikha Graha, yang berarti rumah Dewi Candika (Dewi kematian). Oleh karena itu, candi merupakan bangunan untuk memuliakan orang yang wafat khususnya raja-raja dan orang-orang terkemuka. Dalam perkembangan selanjutnya, candi tak hanya digunakan sebagai tempat pemujaan. Melainkan juga digunakan sebagai biara (candi Sari), tempat samadi (candi Jalatunda), tempat pemandian (candi Belahan), dan gapura kerajaan (candi Bajangratu).
                Budaya candi Jawa Tengah dibangun oleh wangsa Sanjaya yang masih dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu-India. Candi-candi tersebut antara lain kelompok candi Dieng (candi Bima, candi Puntadewa, candi Subadra, candi Arjuna, candi Semar, candi Srikandi, dan lain-lain); kelompok candi Gedongsongo (9 buah candi kecil dengan langgam Hindu terletak di pegunungan Ungaran, Semarang); candi Selagiya (di sekitar gunung Sindoro), dan candi Pringapus (di sekitar gunung Sumbing).
                Setelah surutnya wangsa Sanjaya dan mulai berkuasanya wangsa Syailendra, budaya candi semakin berkembang serta berbaur dengan pengaruh agama Budha Mahayana. Beberapa candi yang didirikan oleh wangsa Syailendra antara lain candi Kalasan yang didirikan pada tahun 778 bercorak Budha dan didirikan untuk menghormati Bodhisatwa Tara yang menjadi lambang wangsa Syailendra, candi Sari yang dikenal sebagai mutiara candi di Jawa karena keindahannya, candi Mendut yang berbentuk bujursangkar dan reliefnya menceritakan tentang Bodhisatwa, serta Borobudur. Candi Borobudur yang berundak 9 merupakan candi terbesar di pulau Jawa.
                Candi ini memiliki tiga jenjang: kamadathu (tingkatan paling rendah) yang melambangkan kehidupan di dunia yang penuh kesengsaraan dan kejahatan. Rupadhatu (tingkatan tengah) yang menceritakan sejarah kehidupan Shidarta Gautama sebagai sosok Budha. Arupadhatu (tingkatan paling atas) berisi stupa-stupa kecil dan arca Budha dengan sikap mudra. Keseluruhan candi Borobudur memiliki arca Budha sebanyak 505 buah.
                Wangsa Syailendra juga membangun candi Plaosan yang merupakan gugus candi Budha, terdiri dari dua candi induk yang dikelilingi oleh 58 candi kecil. Selain itu, wangsa ini juga mendirikan candi Sewu yang memiliki sebuah bangunan candi utama dan 250 buah candi penjaga (perwara). Candi-candi perwara tersebut antara lain candi Lumbung, candi Bubrah, candi Kulon, candi Lor, dan candi Asu.
                Selain di Jawa Tengah, budaya candi juga berkembang di Jawa Timur terutama setelah era kerajaan di Jawa Tengah mengalami kemuduran. Candi-candi di Jawa Timur mulai dibangun pada masa pemerintahan Airlangga dengan corak campuran antara corak Jawa Tengah dan kebudayaan asli di Jawa Timur.
                Dari uraian singkat tersebut dapat kita simpulkan bahwa masyarakat Indonesia memang sangat terampil, terutama dalam bidang pengembangan suatu karya seni. Bisa dilihat masyarakat Indonesia pada masa lampau mampu membuat candi yang disesuaikan dengan kebudayaan lokal mereka. Sehingga walau pun candi awalnya berasal dari kebudayaan Hindu Budha, dengan output karya yang memiliki corak lokal, maka bisa dikatakan ini bukanlah kebudayaan Hindu Budha murni lagi, melainkan kebudayaan Indonesia, hasil dari percampuran antara budaya Hindu Budha dengan budaya lokal yang sangat unik dan beraneka ragam.
                Mohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam tulisan ini. Penulis berharap bisa memberikan kontribusi penting dalam dunia pendidikan walaupun hanya melalui tulisan. Tanpa mengurangi rasa hormat dan semangat yang tetap membara, penulis ucapkan terima kasih. Salam Gunadarma!

sumber : Seni Rupa &DESAIN UNTUK SMA KELAS X, oleh Agus Sachari, penerbit Eirlangga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar